|
Grand Canyon, Amerika |
Abdi Rahmat Syam atau kerap dipanggil kak Abdi, tentu nama yang tidak asing bagi anda mahasiswa pendidikan bahasa Inggris, dia adalah salah satu asisten dosen di jurusan pendidikan bahasa Inggris. Ia masuk pendidikan bahasa Inggris tahun 2007 dan menyelesaikan gelar sarjananya tahun 2012 lalu.
Sebelum mendapatkan gelar sarjananya ia telah mengajar di PBI sebagai asisten dosen, hal tersebut didapatkannya berkat prestasi yang dimilikinya. Prestasinya tidaklah banyak, namun tidak mudah didapatkan. Prestasi langkah dosen asal Takalar tersebut adalah mendapatkan beasiswa pertukaran pelajar ke Amerika pada program Fullbright Global Undergraduate Exchange ketika ia semester 7.
Ia tak semerta-merta mendapatkan prestasi tersebut, banyak yang mengira bahwa Abdi adalah sosok yang memang sangat cerdas, sehingga wajar ia mendapatkan beasiswa luar negeri. Namun, berdasarkan wawancara yang saya lakukan, terungkap Abdi dahulu tidaklah seperti Abdi yang sekarang.
Dahulu saat semester 1 dan 2 ia tidak terlalu tertarik pada bahasa Inggris dan juga sempat minder karena merasa kemampuan bahasa Inggris yang dimilikinya lebih rendah dibanding kemampuan sahabat-sahabatnya, ia bahkan pernah mendapatkan nilai rendah, ia mendapatkan nilai C pada mata kuliah Vocabulary ketika semester 2.
Penyesalanpun datang, nilai C tersebutlah kemudian menjadi pukulan baginya. Semenjak semester 3 ia introspeksi diri dan mulai memperbaiki nilai akademiknya. Ia sadar bagaimanapun juga bahasa Inggris adalah jurusannya dan tentu setiap hari ia akan berkutat dengannya.
Ia memulainya dengan usaha yang keras, sadar akan kemampuannya yang lebih rendah dibanding sahabat-sahabatnya, ia pun mencurahkan tenaganya lebih banyak untuk belajar bahasa Inggris, ia menggunakan waktu luangnya mendalami
structure dan juga
skill bahasa Inggris lainnya.
Ia mengungkapkan awalnya ia tak menyangka-nyangka bisa mendapatkan beasiswa tersebut, berawal dari try out ia mampu mendapatkan skore di kisaran angka 500, kemudian karena percaya dengan kemampuan yang dimilikinya iapun ikut ujian TOEFL dan mendapatkan skor 507.
Skore TOEFL tinggi didapatkannya berkat ketekunannya belajar secara autodidak dan juga karena rutin belajar di METRIC di bawah bimbingan ibu Rosmatami yang saat itu menjabat sebagai ketua METRIC. Bersamaan dengan adanya informasi beasiswa usahanyapun semakin digenjot, selama 3 bulan ia belajar secara intensif di METRIC sebelum akhirnya mengikuti seleksi.
Ketika semester 5 di tahun 2009 ia mengajukan beasiswa Fullbright Global Undergaraduate Exchange tanpa banyak yang mengetahui dan ia pun lolos pada seleksi tersebut. Di tahun 2007 barulah ia diberangkatkan.
Sebelum keberangkatannya ke negeri Paman Sam ia mengurus segala persiapan termasuk mengurus surat izin cuti akademik, di saat itulah ketua jurusan PBI yang akrab disapa Bu Ria takjub, karena baru tahu ada mahasiswanya yang lolos ke Amerika. Hal tersebut tentu cukup menakjubkan, terlebih seleksi tersebut adalah seleksi nasional dan hanya segelintir yang diterima.
Abdi lolos dan ditempatkan di Humbuldt State University, California Amerika. di sana ia menempuh pendidikan selama satu semester, banyak suka duka yang dialaminya.
Motivasi Ke Luar NegeriKesuksesan besar tidak akan digapai dengan usaha biasa-biasa saja, tentunya perlu kesungguhan yang luar biasa dan motivasi tinggi untuk bisa mencapainya, seperti kata pepatah “No pain no gain” atau mungkin “
Wa Ma lLdzzatu Illa Ba’da Ta’abi”
Kutipan tersebut juga mengena bagi Abdi, ia bisa lolos ke Amerika berkat kegigihannya belajar serta tingginya motivasi yang dimilikinya. Salah satu motivasi terbesarnya datang dari mantan rektor UIN Alauddin Makassar, Prof. Azhar Arsyad. Abdi mengungkapkan, sebagai alumni luar negeri pak prof sangat sering mendorong mahasiswanya untuk bisa keluar negeri, hal tersebut sering disampaikan melalui mata kuliah umum yang sering dibawakannya saat masih menjabat sebagai rektor, mulai dari situlah terdorong niat Abdi untuk bisa mengikuti jejak pak Prof.
Kendati sempat merasa minder dan memiliki nilai yang rendah di semester-semester awal. Mulai semester tiga ia kemudian sadar akan kekurangannya, ia bangkit dan kembali mengingat pesan-pesan bapak mantan rektor dua periode tersebut. Selain dari pak prof, motivasi juga berdatangan dari sejumlah dosen alumni luar negeri di jurusannya, seperti pak Wayong dan Prof Hamdan, Belum lagi di METRIC ia mendapatkan dukungan penuh.
TipsSelain mengisahkan kelulusannya ke Amerika, ia juga berbagi tips bagaimana bisa lolos di seleksi tersebut.
Menurutnya,
Structure adalah hal yang harus dikuasai, makanya harus dipelajari baik-baik. Selain itu juga harus memiliki wawasan yang luas karena pertanyaannya tidak hanya terbatas pada bahasa Inggris, kemudian ia juga menyarankan untuk memperbanyak aktivitas yang berkaitan dengan bidang calon penerima beasiswa, untuk mahasiswa pendidikan bahasa Inggris tentu harus banyak mengajar bahasa Inggris, ia pribadi pernah Mengajar di PIBA dan juga di Sekolah.
Menurut pandangannya pendaftar beasiswa yang memiliki pengalaman sesuai bidangnya tentu akan mendapatkan pertimbangan yang lebih, karena penguji akan melihat seberapa besar ilmu yang didapat akan diaplikasikan setelah selesai, ia menambahkan “tentunya pihak pelaksana tidak mau menerima peserta yang minim pengalaman”
Bagaimana ia meningkatkan skill berbahasanya?Dalam sehari setidaknya ia menghabiskan waktu sekitar 40 menit untuk mengasah kemampuan
readingnya dan 45 menit untuk
listening.
Untuk skill listening ia sering mendownload video dari internet, video yang didownload berupa news update dalam bahasa inggris, paling sering dari Deutsche Welle (DW TV). Sedangkan untuk
skill reading ia sering membaca bacaan bahasa inggris, sama seperti
listening ia juga memilih kategori berita, ia sering membuka situs The Jakarta Post.
Kunci sukses menurutnya adalah rajin latihan, disiplin, dan kembali ke motivasi
Saat ditanya bagaimana cara melawan saat kemalasan melanda, ia menjawab itulah perlunya
Self motivation. Seorang mahasiswa tidak perlu lagi dimotivasi agar rajin, karena mereka sudah dewasa. Jadi ketika malas melanda kembali lagi ke motivasi, tujuan belajarnya untuk apa.
Kembali ke AmerikaSaat diwawancarai pada 24 Desember 2013 lalu ia telah melolosi beasiswa S2 dari AMINEF pada program Master Degree. Tidak hanya mengikuti seleksi dan lolos, namun pada seleksi beasiswa S2 tersebut calon penerima juga harus mengajukan target kampus sesuai dengan standar IBT yang diperoleh. Berbeda dengan beasiswa pertukaran pelajar dimana pihak penyelenggara beasiswalah yang sepenuhnya menentukan kampus bagi peserta yang lolos.
Ketika ditanya mengenai skor IBT yang diperolehnya, ia awalnya sangat enggan untuk memberitahu, namun pada akhirnya ia keceplosan karena gencarnya pertanyaan yang saya lontarkan. Ia memperoleh skor IBT 93, sehingga pilihannya jatuh pada salah satu dari empat kampus yang memiliki standar IBT minimal 80, dua kampus di antaranya adalah Southern Illinois University dan Southern Newhampshire University.
Pada akhirnya ia memilih dan lolos di illinois dan per Agustus 2014 ia telah berangkat untuk menempuh pendidikan di negeri paman sam tersebut.
Pengalaman tak terlupakanBelajar di negeri Paman Sam tentu memberikan pengalaman yang tak terlupakan baginya, hal yang paling dikenang Abdi selama di sana adalah banyaknya tugas kampus, saking banyaknya tugas ia sering mengerjakannya hingga jam 5 pagi padahal jam 8 harus kembali kuliah dan tidak boleh terlambat, karena jika terlambat 2 menit saja sudah terhitung absen.
Dalam hal kejujuran, di sana menyontek adalah hal yang sangat tidak dipebolehkan. Selain itu, toleransi beragama sangat tinggi, hal tersebut tercermin saat ia hendak sholat ied bertepatan dengan hari kuliah, namun ia tetap mendapatkan izin.
Dan yang cukup berkesan adalah dosen-dosen yang sangat
helful dan
supportif. Di sana dosen memiliki Office hour, yaitu jam untuk mahasiswa berkonsultasi. “jadi belajar di sana itu semuanya serba mendukung” ungkapnya.
Mengenai ongkos hidup di sana. Ia mengungkapkan biaya hidup di sana cukup murah belum lagi ia mendapat uang saku yang cukup besar sehingga tidak heran setiap kali ke kantin ia mentraktir setidaknya 5 temannya makan bersama.
Semua suka duka dijalaninya di sana. Selain suka ia juga menceritakan beberapa kesulitan, seperti sulitnya mencari makanan halal yang nyaris tidak ada, jumlah muslim yang kurang, sehingga setiap Sholat jumat dia harus pergi ke perpustakaan wilayah.
Selama menjalani hidup di Amerika ia tidak hanya tinggal di California, ia juga sudah pernah ke Arizona mengunjungi Grand Canyon, ke Los Angeles mengunjungi tempat-tempat terkenal seperti Universal Studios Hollywood, Walk of Famous dan beberapa tempat lainnya.
Pesan untuk pembacaDi akhir wawancara ia berpesan untuk para pembaca supaya berusaha dan belajar sebaik-baiknya agar bisa juga menginjakkan kaki ke luar ngeri, karena akan banyak manfaat yang didapakan selain manfaat untuk pribadi, “keluar negeri tentu juga akan berkontribusi ke akreditasi jurusan kita” ungkapnya.
Sudah banyak anak PBI yang sudah keluar negeri, iapun menyebutkan satu persatu : Kak Jusmi, Kak Dayat, Kak arif, Kak Tia, dan banyak lagi alumni yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Selanjutnya giliranmu!