Tak tergantikan
Jalani apa yang menurutmu benar, dan aku menjalani hidupku yang kuanggap benar.
Kata-kata itu masih jelas terngiang di kepalaku, kata-kata yang kuucapkan kepada semua keluargaku, kepada mama, papa dan saudara-saudaraku. Aku masih tetap kekeh dengan keputusanku. Memperjuangkan seseorang yang kukenal lima tahun yang lalu, seorang pria yang sudah membuktikan keseriusannya kepadaku dengan membawa kedua orangtuanya menemui orangtuaku. Namun ternyata orang tuaku menolak maksud baik keluarga pria yang selama ini sudah menjadi bagian dalam hidupku.
Lupakan dia dan mencari yang lebih pantas. Itulah yang sering diucapkan keluargaku, tapi aku tidak mampu. Lima tahun bukan waktu yang singkat, aku tidak mungkin sanggup melepaskannya begitu saja. Aku mengerti jika keluargaku tidak mengizinkan aku hidup bersama dengannya, tapi hatiku sudah terlanjur dimiliki oleh pria itu.
“Nak, bukan hanya mama yang tidak merestui tapi semua keluarga tidak ada yang mengizinkan kamu menjadi ibu tiri dari ketiga anaknya” ujar mama dengan air mata yang berlinang.
Ya, itu alasan keluargaku tidak mengizinkan, seorang single parents dengan tiga orang anak, dimata keluargaku itu adalah suatu aib yang besar untuk di hindari.
“kamu cantik, kamu mandiri, kakak yakin kamu pasti bisa mendapatkan pria yang lebih baik darinya” tambah kakak perempuanku dengan tegas.
“tidak kak, di mataku sudah tidak ada lagi pria yang baik selain Iwan” ucapku dengan mata yang berlinang air mata.
“kamu benar-benar sudah dibutakan oleh perasaanmu indah, kamu mau mama cepat mati dengan sikapmu yang keras kepala itu ?!” ujar kakakku dengan nada suara yang tinggi.
Kelemahanku ada pada mama. Mamaku sudah puluhan tahun menderita penyakit jantung. Sebagai anak bungsu, mama sangat sayang sama aku dan dalam perjalanan hidupku, inilah hal pertama kulakukan yang membuat mama kecewa dan berakhir sakit. Dalam hati aku merasa bersalah, namun mau tidak mau aku juga harus mengutarakan maksud hatiku. Aku tidak mau selamanya menjalni hubungan sembunyi-sembunyi, aku ingin hubungan kami berdua sah di mata hukum dan agama.
Kadang aku berpikir konyol ingin pergi dari rumah, namun di lain sisi aku ingat mama. Aku tidak mau apa yang dikatakan kakak benar-benar terjadi. Aku sangat sayang sama mama, tapi aku juga mencintai Iwan. Bagiku dia adalah laki-laki yang pantas menjadi Imamku.
Setelah kejadian penolakan itu, di rumah sudah tidak ada yang kuanggap baik. Bagiku semua keluarga yang menolak maksud baik keluarga iwan adalah musuh. Mereka semua tidak pernah mengerti aku, tidak ada yang menganggap apa yang kuinginkan ini benar.
“mama, aku tidak peduli kata mereka, yang aku inginkan hanya restu mama dan papa. Jika kakak-kakak, tante dan Om tidak ada yang merestui itu sama sekali tidak ada pengaruhnya” bujukku kepada mama ketika aku sedang berdua.
“ma, apa selama ini aku pernah menyusahkan keluarga ?!, apa selama ini aku sering membuat keluarga malu ?!, tidak kan ma ?! aku hanya minta restu dari mama, tolong restui niat baik kami ma !” rengekku. Aku janji mama, aku akan hidup bahagia, dan kalau pun nantinya aku susah aku tidak akan menyusahkan keluarga, mama jangan khawatir.
Saat itu mama hanya menangis, menangis, dan menangis. Aku sadar walau apapun yang aku ucapkan baginya hanya sebuah dongeng. Semua itu takkan merubah apapun. Tidak tetap tidak, itulah yang mereka pegang.
Rasa marah, benci dan kesal sudah menggerogoti hatiku. Sikapku mulai berubah, Indah yang dulunya selalu ramah kini jadi pemarah. Rumah, bagiku hanyalah tempat ragaku numpang istirahat. Tidak ada lagi kata-kata lembut yang aku gunakan di rumah, terkadang dalam sehari aku jadi pendiam.
Perubahanku sama sekali tidak dihiraukan, Tapi aku tetap tidak peduli, yang ada di pikiranku saat ini hanyalah melakukan apa yang kuanggap benar dan membiarkan keluarga melakukan apa pun yang mereka anggap benar. Itulah adalah kesepakatan yang tak tertulis.
Mereka yang tetap tidak merestui hubunganku dan aku yang tetap mempertahankan iwan dalam hidupku. Aku tidak peduli sampai kapan hubungan ini akan direstui. Aku akan tetap menunggu sampai saat itu datang. Karena bagiku Iwan tak akan pernah tergantikan.
Cerpen Oleh : Kartika Yusuf | Magang