Senin, 03 Februari 2014

Degradasi Budaya Hormat Bugis Makassar

Oleh | Muh Fathul Amin
Kata-kata degradasi sangatlah diidentikkan dengan hal-hal yang negatif, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata-kata degradasi diartikan sebagai kemunduran, kemerosotan, penurunan, dsb (tentang mutu, moral, pangkat, dsb).

Mengacu kepada sejarah perdaban suku Bugis Makassar, banyak pakar sejarah dan pakar budaya yang mengatakan bahwa Suku Bugis Makassar memiliki budaya penghormatan yang sangat tinggi kepada orang yang lebih tua ataupun orang yang lebih muda, sebut saja salah satunya Prof Dr H A Mattulada  Prof Dr H A Mattulada seorang pakar budaya yang merupakan mahasiswa pertama fakultas sastra Universitas Hasanuddin (UNHAS).

Dalam budaya Suku Bugis Makassar terdapat konsep ade’ atau adat, konsep adat atau ade’ menjadi rujukan utama hukum bagi suku Bugis Makassar, bahkan tercatat dalam sejarah Suku Bugis Makassar, masyarakat tradisional Suku Bugis Makassar mengacu pada konsep peng’ade’reng atau norma yang saling terkait satu sama lain. Kehidupan sehari-hari masyarakat tradisional suku bugis makassar sangat memperhatikan adat istiadat, misalnya memperhatikan hubungan harmonis antar sesama manusia, hal tersebut bisa terlihat pada kebiasaan orang makassar ketika melewati orang yang lebih tua, mereka pasti menunduk setengah badan sambil mengatakan tabee’ yang dalam bahasa Indonesia berarti permisi, dan kemudian mengucapakan iye’ atau iya dengan nada yang lembut dan sopan, selain itu diajarkan pula untuk menghargai yang tua dan menyayangi uang muda.

Namun sangat disayangkan, di era moderen ini adat istiadat Bugis Makassar yang dulu sangat terkenal dengan kesopanan, kelembutan dan keramahan masyarakatnya tidak bisa bertahan melawan arus pergulatan budaya yang terus mengalir, contohnya saja anak-anak sekolah mulai dari sekolah dasar sampai tingkat mahasiswa yang hidup di era moderen ini, sangat sulit mendapatkan anak-anak remaja Bugis Makassar yang menerapkan adat istiadat sukunya yang dulu sangat terkenal dengan kesopanannya. Di sekolah-sekolah bahkan di perguruan tinggi sekalipun sangat sulit mendapatkan mahasiswa yang tetap eksis menerapkan adat istiadat mappa’ tabe’ ini, ketika mereka berpapasan dengan dosennya contohnya, mereka hanya mengatakan hai, atau apakabar pak/bu?, yang lebih ironis lagi mereka tidak menyapa dan berjalan dengan entengnya seakan-akan orang yang dia jumpai bukanlah dosen atau guru yang telah memberikannya ilmu pengetahuan. Sungguh disayangkan perilaku mahasiswa yang seperti ini.

Seakan-akan adat istiadat mappa’ tabe’ sudah sirna ditelan bumi, dikarenakan minimnya orang yang mempraktikkan adat istiadat ini, degradasi hormat yang dibahasakan penulis sangatlah jelas, yang di mana dulunya suku Bugis Makassar sangat terkenal dengan kesopanan, kelembutan dan keramahan masyarkatnya sekarang sudah sudah sulit untuk ditemukan di kehidupan sehari-hari. Bahkan sekarang Suku Bugis Makassar sudah terkenal dengan kekerasan, dan penindasan. Contoh yang sangat kongkrit dikalangan mahasiswa yaitu tawuran antar jurusan, antar suku dan lain sebagainya. Di Pulau Jawa Mahasiswa Makassar sangat tekenal dengan tawurannya, entah kenapa, apakah ini salah satu dari dampak degradasi budaya hormat yang terjadi sekarang ini.?

Hal ini sangat dirasakan perbedaannya ketika berkunjung ke negara tetangga, yaitu Thailand, negara yang memiliki warna bendera merah, putih dan biru ini sangat menerapkan budaya hormat kepada orang yang lebih tua dari mereka, apalagi kepada yang namaya guru, guru adalah pekerjaan yang sangat terpandang di Thailand, profesi ini sangat mulia sanagat dihormati oleh semua orang di Thailand.

Negara yang meganut sistem pemerintahan (sistem kabinet) parlementer ini selalu mengajarkan kepada generasi-generasi mudanya untuk tetap menghormati yang tua dan menyayangi yang muda, ketika berada di tempat-tempat umum seperti sekolah dan univesitas, anda bisa merasakan betapa kentalnya budaya hormat yang mereka pertahankan ditengah arus globalisasi yang mengancam budaya mereka, salah satu yang menjadi benteng untuk mempertahankan budaya mereka adalah memperkenalkan kepada anak-anak mereka lebih awal bagaimana menghormati dan menyayangi orang di sekeliling mereka, di sekolah dasar contohnya mereka diajari untuk mengatkan sawasdee khap untuk laki-laki dan sawasdee kha untuk perempuan yang dalam bahasa Indonesia berati sapaan kepada siapa saja (hy), meraka diajari setiap bertemu dengan guru mereka harus singgah sejenak dan mengatkan sawasdee khap/kha kepada guru mereka sambil menaruh kedua tangan mereka di bawah dagu dan menundukkan kepala di hadapan guru mereka seraya mengeluarkan senyum yang indah. Begitu indah sapaan mereka terhadap orang di sekitar mereka, tidak heran jikalau Thaliand dijuluki island of smile atau dalam bahasa Indonesia berarti pulau senyum.

Belum lagi hari Guru Nasional Thailand yang jatuh tepat pada tanggal 15 Januari 2014 lalu, hari ini adalah hari yang sangat di dinanti-nantikan oleh guru di tanah thailand, di setiap tanggal 15 Januari seluruh sekolah di Thailand mengadakan kegiatan untuk memperingati hari guru nasional mereka, dalam acara memperingati hari guru nasional semua siswa harus memberikan bunga kepada semua guru dengan cara berjalan di depan guru mereka dengan memakai lutut, setelah sampai di depan guru mereka, mereka memberikan bunga lalu bersujud pas di depan kaki guru mereka, sungguh penghormatan yang sangat tinggi kepada profesi yang sering disebut pahlawan tanpa tanda jasa ini.

*Penulis Adalah Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, UIN Alauddin Makassar Semester V.

Sumber gambar: http://www.banphemarket.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar