Rabu, 21 Januari 2015

The Art of Making Decision

Oleh | Sulkia Reski
Pengambilan keputusan dalam bahasa inggris disebut making decision. Sementara dalam bahasa Belanda disebut besluit neming

Menurut Curtis R Fince dan Robert B Magough, bahwa pengambilan keputusan adalah pengambilan tindakan dari sejumlah alternatif yang ada, alternatifnya adalah berupa kemungkinan untuk dipilih. pengambilan keputusan dikatakan sebagai fungsi dasar kepemimpinan.

Pengambilan keputusan merupakan seni dan ilmu yang harus dicari, dipelajari, dimiliki dan dikembangkan secara mendalam oleh setiap manusia kalau tidak akan timbul masalah dalam upaya manusia menjalani proses untuk mencapai tujuannya.

Pengambilan keputusan sebagai ilmu karena memiliki sejumlah cara, metode, atau pendekatan tertentu yang bersifat sistematis, teratur dan terarah, disebut sitematis karena ada tahapan langkah-langkah yang harus dipenuhi dalam memecahkan masalah.. disebut teratur dan terarah kaena aktivitas pengambilan keputusan selalu diarahkan untuk menghasilkan solusi serta tindakan yang tegas untuk pencapaian tujuan,

Bagaimana sebuah seni pengambilan keputusan memiliki peran bagi pemimpin maupun calon pemimpin kedepannya. Tentu saja posisi pengambilan keputusan sangat urgen. Satu kata "ya" atau "tidak" yang dipilih oleh seorang pemimpin akan memberi dampak yang besar. 

Lalu seberapa pentingnya pengambilan keputusan dalam satu instansi pendidikan layaknya di kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar yang berlangsung selama ini. Tak ada penerapan Sudahkah the art of making decision yang bisa menyelesaikan suatu permasalahan?

Bisa dilihat dari kasus sengketa pemilihan rektor (pilrek) sejak (7/8/14) lalu belum jua menemui titik terang akan suatu penyelesaian. Bahkan kasus terus berlarut dan membuat ketimpangan dalam tubuh birokrasi kampus. 

Belum adanya kepastian siapa rektor yang seharusnya menjabat membuat kekosongan posisi tertinggi di kampus yang katanya berperadaban ini terjadi. Sejak (5/1/15) rektor lama Prof Qadir Gassing telah lengser dari kursi kekuasaannya karena masa jabatannya yang telah habis. 

Bagai ajang permainan, kampus yang berlabelkan islam tak memiliki pimpinan tertinggi. Bagaimana dengan hasil pemilihan, tak jelas arahnya. Pada saat pemilihan berlangsung, senat yang hadir tidak korum. Dan disinyalir adanya statuta baru yang tak diindahkan. Hal ini menyebabkan sebagian guru besar enggan ikut dalam pemilihan.

Berlanjut lah sengketa pilrek dengan pengajuan pertanyaan terhadap pihak kementerian agama. Sejauh mana penyelesaian dari kementerian pun tak jelas. Belum ada satu nama rektor yang dianggap menang. Proses saat pemilihan pun tak diketahui sah tidaknya. Kementerian bungkam. Dimana pengambilan keputusan yang seharusnya dilakukan oleh seorang pimpinan. Atau pimpinan sendiri bingung harus berbuat apa. 

Saking tidak bisanya mengambil keputusan, perang spanduk jadi tingkah konyol para elit kampus. Ada yang menolak karetaker sebagai pejabat sementara, tapi ada juga yang menyetujuinya. Mana yang harus didengarkan. Perang para elit dalam memperebutkan kekuasaan jadi tontonan. Lucu. Guru besar dan bertahta di kampus berlabelkan islam tak bisa bermusyawarah untuk mencapai sebuah keputusan. Sementara dalam Alquran sendiri ada perintah untuk bermusyawarah.  Ataukah magnet akan posisi dalam birokrasi kampus sangat kuat menarik sehingga semua ingin menjadi pemenang. 

Siapa yang harus jadi pimpinan. Sementara telah terlihat jelas tak ada yang berniat menyelesaikan masalah. Pelanggaran konstitusi terjadi dalam lembaga pendidikan yang mestinya mencetak calon-calon pimpinan. Mereka yang seharusnya paham akan pentingnya posisi pimpinan membiarkan kursi tetap kosong. 

Mana lagi yang cocok jadi pemimpin jika pengambilan keputusa saja tak bisa terjadi. Masalah berlarut lama dan tak menemukan titik terang. Mana yang layak jadi pimpinan? Dimana pimpinan? Yang seharusnya mengambil keputusan dan menyelesaikan permasalahan yang ada.

*Penulis adalah mahasiswa jurnalistik semester III

Tidak ada komentar:

Posting Komentar