tekno.analisadaily.com |
Membaca manusia Batu Lotong dari sudut pandang antropologi menjadi sebuah studi kajian yang tentu sangat menarik, sebab Batu Lotong bagai gadis mulampekke (baca beranjak gadis atau remaja) sehingga mungkin dia belum begitu mengenal pergaulan secara modern. Karena kesehariaannya masih berada pada lingkungan yang masih kurang bersentuhan pada teknologi-teknologi modern. Singkatnya Batu Lotong menjadi rebutan bukan hanya cowok maco seperti antropologi yang ingin mendekatinya secara ilmu kemanusiaan, bahkan psikologi tak segan-segan menyenternya dari jauh untuk membaca kejiwaannya tetapi singkatnya kedua cowok itu antara antropologi dan psikologi yang hanya membawa cinta abstrak maka sang gadis (baca Batu Lotong) tak tertarik sama sekali sebab dia telah dibisiki oleh temannya bahwa ada cowok yang jauh lebih dari pada antropologi dan psikologi yakni sang cowok (baca peralatan teknologi modern) yang memiliki mobil truk sehingga Batu Lotong tak lagi jalan kaki yang sangat melelahkan.
Yang membuat sang cowok antropologi dan psikologi tak habis pikir dengan sang pujaan hati (baca Batu Lotong), sebab peralatan teknologi modern merekalah yang membuat tetapi kenapa Batu Lotong malah tertarik kepada si teknologi ? yang pada hakikatnya lahir dari buah tangan antropologi dan psikologi. Tetapi, yang membuat keduanya merasakan kemirisan bahwa ternyata kini buatan mereka berdua berubah menjadi saingan, padahal sebelumnya sang teknologi dibuat untuk melayani mereka tetapi kini malah mereka yang harus melayani teknologi. Suatu hari antropologi dan psikologi bertemu dengan Batu Lotong yang datang mengunjungi teknologi modern yang akhirnya antropologi dan psikologi bertanya kepada Batu Lotong, “mengapa engkau lebih memilih teknologi modern dibandingkan kami berdua ?”, dengan begitu santai Batu Lotong menjawab bahwa “aku memilih teknologi modern karena dia jauh lebih sempurna dibandingkan kalian berdua”, mendengar jawaban itu membuat keduanya merasa tersinggung sebab bagaimanapun juga teknologi modern lahir dari buah jerih payahnya, hingga bermaksud untuk menjabarkan kebenaran yang sesungguhnya. “Batu Lotong perlu kau ketahui bahwa teknologi modern kamilah yang buat seharusnya kamu memilih salah satu dari kami berdua, karena teknologi modern sejak awal kami desain sebagai persembahan cinta kepadamu”, celotehnya dengan begitu mendalam sampai-sampai melelehkan air mata. Dari air mata keduanyalah maka lahir sebuah perspektif baru untuk kembali menaklukkan hati si Batu Lotong, dari air mata antropologi lahirlah animal symbolicum dan dari air mata psikologi lahirlah psikologi humanistik. Secara hakikat hal tersebut lahir untuk menyadarkan si Batu Lotong bahwa salah satu diantara mereka berdualah yang layak untuk dipilih.
Hari demi hari hubungan asmara si Batu Lotong dengan teknologi modern begitu erat sehingga tiada hari tanpa cinta, teknologi modern mempersembahkan berbagai macam kesenangan kepada Batu Lotong untuk lebih meyakinkah bahwa dia memang pantas buat dipilih. Singkatnya si Batu Lotong telah dibutakan oleh berbagai jenis peralan dan lebih jauh efek dari cinta buta itu membuat si Batu Lotong makin manja, kalau dia dulu terkenal sebagai seorang gadis yang rajin tetapi ketika jatuh hati pada teknologi modern maka semua kebiasaan-kebiasaan Batu Lotong yang biasanya secara mandiri mampu dia lakukan kini semua itu digantikan dengan kemanjaan dengan mengandalkan si teknologi modern. Yang lebih ironi lagi tabiat si Batu Lotong yang mandiri secara derastis berubah menjadi gadis yang mengalami ketergantungan, dia tak bisa jauh-jauh dari sang kekasih dan hal ini menjadi buah bibir orang-orang sekampung sebab menurut adat yang telah diwariskan oleh nenek moyang si Batu Lotong yang bernama sosiologi yang berpasangan dengan budaya hingga lidah keturunannya biasa menyeburnya pesan-pesan nenek matoa (orang tua) sosiologi budaya bahwa seorang anak gadis pantang duduk berduaan maupun sering sama apabila belum menikah sebab ketika itu dilanggar maka akan terjadi murka dari puange (tuhan).
Pembicaraan orang-orang sekampung tentang si Batu Lotong yang sering berdua-duaan bahkan begitu bermesraan dengan teknologi modern, sebetulnya telah disadari oleh kedua orang tua mereka yakni i (penanda jenis kelamin laki-laki) philo dan we (penanda jenis kelamin prempuan bugis) shopia dan bahkan sering kali mengingatkan bahwa apabila tindakan berdua-duaan tersebut terus dilakukan akan mengandung konsekuensi dari puange (tuhan). Namun, tampaknya si Batu Lotong hanya menganggap nasehat leluhur itu bagai angin lalu dan bahkan menantang “kalau memang nasihat atau pesan-pesan leluhur itu berlaku maka tentu sudah lama hukuman dari puange (tuhan) terjadi tetapi nyatanya itu tidak terbukti sama sekali”, mendengar perkataan itu kedua orang tuanya i philo dan we shopia merasa khawatir dengan kecongkakan putrinya tersebut.
Maka i philo dan we shopia akhirnya secara bulat menemui para pangulu ade’ (penghulu adat) untuk mengutarakan kondisi yang menimpa putrinya dan segaligus memikirkan solusi terbaik tentang masalah tersebut. Akhirnya setelah mendengar secara bijak dan bertemu pada satu titik kesempulan maka akhirnya pangulu ade’ atau penghulu adat memutuskan, “i philo dan we shopia apa yang menimpa putrimu si Batu Lotong pada dasarnya adalah perasaan cinta yang mendalam pada seorang pemuda yang bernama teknologi modern itu hal yang wajar tetapi perwujudan hubungan cinta diantara mereka berada diluar kebiasaan adat kita. Sehingga untuk tetap menjaga tradisi kampung maka kami dari pangulu ade’ mengambil keputusan untuk menikahkan keduanya tetapi ada satu keputusan lagi namun sebelumnya apakah i philo dan we shopia mau menerima itu ? sebab jujur keputusan yang satu ini berat”, papar pangulu ade’ dengan penuh tatapan serius sehingga membuat i philo dan we shopia merasa bertanya-tanya segaligus bercampur rasa takut, karena tidak biasanya seseorang mendapatkan dua sanksi adat segaligus kecuali apabila itu memang termasuk pelanggaran adat yang besar. Karena rasa was-was akhirnya keduanya memberanikan diri untuk bersuara “sebagai bagian dari adat kami memahami bahwa setiap pelanggaran adat wajar untuk mendapatkan sanksi, sehingga kami tentu sudah siap dengan berbagai kondisi maupun konsekuensi dari hukum adat. Sebab keputusan pangadereng (hukum adat tentang etika) menjadi sebuah keharusan untuk diterimah itu wajib”.
Suasana yang begitu tegang menyelimuti pertemuan itu sebab tidak biasanya pangulu ade’ mengambil keputusan terlalu lama, “sanksi adat yang mesti diterima oleh si Batu Lotong atas perbuatannya selain dinikahkan dengan teknologi modern maka sanksi kedua Batu Lotong dikenakan sanksi ri paopani tanah (dianggap sudah mati dengan diusir dari kampung), segaligus ini menjadi pelajaran bagi yang lainnya bahwa ade’ (adat) masih ada”, jelas pangulu ade’ dengan suara penuh wibawah. Keputusan ini tentu menjadi keputusan yang begitu berat diterima oleh i philo dan we shopia tetapi tradisi adalah sebuah aturan yang menjadi pengatur dalam tata hidup bermasyarakat maka pantang untuk ditolak, apalagi melakukan tindakan anarkis untuk menolak semua itu, mungkin inilah tingkat humanistik paling luhur ala masyarakat kampung. Akhirnya sesuai dengan kesepakatan maka hari pernikahan si Batu Lotong dengan teknologi modern telah ditentukan, namun ada yang aneh terjadi dan mungkin dianggap berada diluar kewajaran sebab hari pernikahan keduanya bertepatan dengan hari kaddaro (hari yang dianggap buruk). Berita ini tersebar luas hingga keseluruh kampung bahkan sampai berbagai wanua (negara), yang paling syok berat adalah si antropologi dan si psikologi sebab bagaimana pun juga Batu Lotong merupakan cinta pertama yang membuat mereka mabuk kepayang karena cinta tetapi nasi telah berubah menjadi bubur.
Tetapi, ada hal yang mewarnai proses pernikahan Batu Lotong dengan teknologi modern yakni adanya pemberian sebidang tanah yang terletak di pinggiran sungai yang juga terdapat bukit yang mencolok ke sungai, hal tersebut diberikan oleh pangulu ade’ mengingat jasa-jasa keluarganya yang masih madara takkue (bangsawan murni) sehingga walau dianggap telah mati tetapi tetap diberikan sebidang tanah. Namun, konsekuensi lainnya mereka tidak diperbolehkan mengunjungi kampung dan keluarganya begitu sebaliknya. Setelah melangsungkan pernikahan ala to sama (orang kebanyakan yang bukan keturunan bangsawan) tanpa simbol kebesaran keluarganya mereka harus berpisah dengan keluarga, dari raut wajah si Batu Lotong terlihat jelas linangan air mata yang tumpah ruah di cawan wajahnya sebab kebahagiaan tertinggi dari seorang gadis kala sang pujaan datang meminang maka hari itu bagaikan lebih baik dari pada seribu bulan. Tetapi, kenyataan pahit yang diterimanya membuatnya harus terpisah dengan keluarga ang seharusnya menemani dihari itu, bukan malah menyendiri dari keramaian.
Dari selala-sela rongga mulut i philo sang ayah si Batu Lotong keluar sebuah hembusan angin yang ketika telinga manusia-manusia disekitanya mendengarnya maka orang-orang berkata betapa berat kata-kata itu harus keluar dari mulut sang ayah pada anaknya “palini alemu (sekarang mandirilah)”, setelah mendengar kata-kata itu maka si Batu Lotong dan teknologi harus pergi berdua sepasang suami istri yang bagai binatang yang terbuang dari kumpulannya di hari yang sangat bahagia menjadi hari terakhir mereka bertemu dengan kedua orang tuanya.
Perpisahan itu rupanya membuat dendam tersendiri dalam hati si teknologi modern sebab pada dasarnya tujuan utama mencintai si Batu Lotong selain kemolekan tubuh dan paras ayunya, menyimpan rencana lain yakni merebut tanah adat sebab menurut alat pendeteksi di tanah adat tersebut terdapat sumber minyak yang melimpah ruah. Karena alasan itulah rupanya si teknologi modern rela berkorban untuk mengantar si Batu Lotong keliling kampung dengan cara seperti itulah untuk mendeteksi potensi sumber daya yang dimiliki kampung si Batu Lotong. Saat malam pertama tiba bukan belaian kemesraan yang didapat oleh si Batu Lotong malah kemolekan tubuhnya dan paras ayunya direnggut oleh alat teknologi modern yang berkekuatan mesin canggih yang melukai kemolekan tubuhnya dengan mengeruk keperawanan sungai Batu Lotong dan merusak paras ayunya Batu Lotong dengan membongkar batu digunung yang juga turut melibas pohon-pohon, dengan sekejap si teknologi modern merubah perawan si Batu Lotong menjadi seorang nenek peot yang renta segaligus penuh penyakitan.
Si teknologi modern bukan hanya melukai dan merusak keperawanan si Batu Lotong tetapi yang lebih bias dari itu semua, hubungan birahi keduanya melahirkan seorang anak si robot dengan geng dominan sang teknologi modern. Si robot tak mengenal batasan adat apalagi hal-hal yang bersifat spiritual semua sumber daya alam dieksploitasi secara brutal dan yang paling memilukan segaligus menyayat hati sebab si robot malah mengekspansi tanah adat, sehingga masyarakat yang ada kemudian dijadikan sebagai buruh-buruh di pabrik-pabrik yang malah turut menikmati kemolekan daratan, air dan gunung-gunung yang mengandung minyak yang merupakan tubuh dari ibunya sendiri yang tak lain si Batu Lotong.
Batu Lotong merupakan simbol dari wajah kemolekan alam yang kemudian manusia berupaya mengeksploitasi alam dengan mesin-mesin teknologi modern, pada awalnya manusia yang menghendaki eksploitasi tetapi lambat laun manusia yang awalnya pengendali tetapi secara derastis alat-alat teknologi modernlah yang mengendalikan manusia, buruh sebagai simbol manusia yang ditaklukan oleh robot-robot mesin pabrik dan bahkan waktu istirahatnya ditentukan oleh kondisi mesin bukan pada kondisi manusia. Persaingan antara antropologi dan psikologi untuk menaklukan si Batu Lotong tetapi keduanya gagal bersaing dengan teknologi modern yang tak lain adalah ciptaannya sendiri.
Oleh: A Hendra Dimansa
*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Yang membuat sang cowok antropologi dan psikologi tak habis pikir dengan sang pujaan hati (baca Batu Lotong), sebab peralatan teknologi modern merekalah yang membuat tetapi kenapa Batu Lotong malah tertarik kepada si teknologi ? yang pada hakikatnya lahir dari buah tangan antropologi dan psikologi. Tetapi, yang membuat keduanya merasakan kemirisan bahwa ternyata kini buatan mereka berdua berubah menjadi saingan, padahal sebelumnya sang teknologi dibuat untuk melayani mereka tetapi kini malah mereka yang harus melayani teknologi. Suatu hari antropologi dan psikologi bertemu dengan Batu Lotong yang datang mengunjungi teknologi modern yang akhirnya antropologi dan psikologi bertanya kepada Batu Lotong, “mengapa engkau lebih memilih teknologi modern dibandingkan kami berdua ?”, dengan begitu santai Batu Lotong menjawab bahwa “aku memilih teknologi modern karena dia jauh lebih sempurna dibandingkan kalian berdua”, mendengar jawaban itu membuat keduanya merasa tersinggung sebab bagaimanapun juga teknologi modern lahir dari buah jerih payahnya, hingga bermaksud untuk menjabarkan kebenaran yang sesungguhnya. “Batu Lotong perlu kau ketahui bahwa teknologi modern kamilah yang buat seharusnya kamu memilih salah satu dari kami berdua, karena teknologi modern sejak awal kami desain sebagai persembahan cinta kepadamu”, celotehnya dengan begitu mendalam sampai-sampai melelehkan air mata. Dari air mata keduanyalah maka lahir sebuah perspektif baru untuk kembali menaklukkan hati si Batu Lotong, dari air mata antropologi lahirlah animal symbolicum dan dari air mata psikologi lahirlah psikologi humanistik. Secara hakikat hal tersebut lahir untuk menyadarkan si Batu Lotong bahwa salah satu diantara mereka berdualah yang layak untuk dipilih.
Hari demi hari hubungan asmara si Batu Lotong dengan teknologi modern begitu erat sehingga tiada hari tanpa cinta, teknologi modern mempersembahkan berbagai macam kesenangan kepada Batu Lotong untuk lebih meyakinkah bahwa dia memang pantas buat dipilih. Singkatnya si Batu Lotong telah dibutakan oleh berbagai jenis peralan dan lebih jauh efek dari cinta buta itu membuat si Batu Lotong makin manja, kalau dia dulu terkenal sebagai seorang gadis yang rajin tetapi ketika jatuh hati pada teknologi modern maka semua kebiasaan-kebiasaan Batu Lotong yang biasanya secara mandiri mampu dia lakukan kini semua itu digantikan dengan kemanjaan dengan mengandalkan si teknologi modern. Yang lebih ironi lagi tabiat si Batu Lotong yang mandiri secara derastis berubah menjadi gadis yang mengalami ketergantungan, dia tak bisa jauh-jauh dari sang kekasih dan hal ini menjadi buah bibir orang-orang sekampung sebab menurut adat yang telah diwariskan oleh nenek moyang si Batu Lotong yang bernama sosiologi yang berpasangan dengan budaya hingga lidah keturunannya biasa menyeburnya pesan-pesan nenek matoa (orang tua) sosiologi budaya bahwa seorang anak gadis pantang duduk berduaan maupun sering sama apabila belum menikah sebab ketika itu dilanggar maka akan terjadi murka dari puange (tuhan).
Pembicaraan orang-orang sekampung tentang si Batu Lotong yang sering berdua-duaan bahkan begitu bermesraan dengan teknologi modern, sebetulnya telah disadari oleh kedua orang tua mereka yakni i (penanda jenis kelamin laki-laki) philo dan we (penanda jenis kelamin prempuan bugis) shopia dan bahkan sering kali mengingatkan bahwa apabila tindakan berdua-duaan tersebut terus dilakukan akan mengandung konsekuensi dari puange (tuhan). Namun, tampaknya si Batu Lotong hanya menganggap nasehat leluhur itu bagai angin lalu dan bahkan menantang “kalau memang nasihat atau pesan-pesan leluhur itu berlaku maka tentu sudah lama hukuman dari puange (tuhan) terjadi tetapi nyatanya itu tidak terbukti sama sekali”, mendengar perkataan itu kedua orang tuanya i philo dan we shopia merasa khawatir dengan kecongkakan putrinya tersebut.
Maka i philo dan we shopia akhirnya secara bulat menemui para pangulu ade’ (penghulu adat) untuk mengutarakan kondisi yang menimpa putrinya dan segaligus memikirkan solusi terbaik tentang masalah tersebut. Akhirnya setelah mendengar secara bijak dan bertemu pada satu titik kesempulan maka akhirnya pangulu ade’ atau penghulu adat memutuskan, “i philo dan we shopia apa yang menimpa putrimu si Batu Lotong pada dasarnya adalah perasaan cinta yang mendalam pada seorang pemuda yang bernama teknologi modern itu hal yang wajar tetapi perwujudan hubungan cinta diantara mereka berada diluar kebiasaan adat kita. Sehingga untuk tetap menjaga tradisi kampung maka kami dari pangulu ade’ mengambil keputusan untuk menikahkan keduanya tetapi ada satu keputusan lagi namun sebelumnya apakah i philo dan we shopia mau menerima itu ? sebab jujur keputusan yang satu ini berat”, papar pangulu ade’ dengan penuh tatapan serius sehingga membuat i philo dan we shopia merasa bertanya-tanya segaligus bercampur rasa takut, karena tidak biasanya seseorang mendapatkan dua sanksi adat segaligus kecuali apabila itu memang termasuk pelanggaran adat yang besar. Karena rasa was-was akhirnya keduanya memberanikan diri untuk bersuara “sebagai bagian dari adat kami memahami bahwa setiap pelanggaran adat wajar untuk mendapatkan sanksi, sehingga kami tentu sudah siap dengan berbagai kondisi maupun konsekuensi dari hukum adat. Sebab keputusan pangadereng (hukum adat tentang etika) menjadi sebuah keharusan untuk diterimah itu wajib”.
Suasana yang begitu tegang menyelimuti pertemuan itu sebab tidak biasanya pangulu ade’ mengambil keputusan terlalu lama, “sanksi adat yang mesti diterima oleh si Batu Lotong atas perbuatannya selain dinikahkan dengan teknologi modern maka sanksi kedua Batu Lotong dikenakan sanksi ri paopani tanah (dianggap sudah mati dengan diusir dari kampung), segaligus ini menjadi pelajaran bagi yang lainnya bahwa ade’ (adat) masih ada”, jelas pangulu ade’ dengan suara penuh wibawah. Keputusan ini tentu menjadi keputusan yang begitu berat diterima oleh i philo dan we shopia tetapi tradisi adalah sebuah aturan yang menjadi pengatur dalam tata hidup bermasyarakat maka pantang untuk ditolak, apalagi melakukan tindakan anarkis untuk menolak semua itu, mungkin inilah tingkat humanistik paling luhur ala masyarakat kampung. Akhirnya sesuai dengan kesepakatan maka hari pernikahan si Batu Lotong dengan teknologi modern telah ditentukan, namun ada yang aneh terjadi dan mungkin dianggap berada diluar kewajaran sebab hari pernikahan keduanya bertepatan dengan hari kaddaro (hari yang dianggap buruk). Berita ini tersebar luas hingga keseluruh kampung bahkan sampai berbagai wanua (negara), yang paling syok berat adalah si antropologi dan si psikologi sebab bagaimana pun juga Batu Lotong merupakan cinta pertama yang membuat mereka mabuk kepayang karena cinta tetapi nasi telah berubah menjadi bubur.
Tetapi, ada hal yang mewarnai proses pernikahan Batu Lotong dengan teknologi modern yakni adanya pemberian sebidang tanah yang terletak di pinggiran sungai yang juga terdapat bukit yang mencolok ke sungai, hal tersebut diberikan oleh pangulu ade’ mengingat jasa-jasa keluarganya yang masih madara takkue (bangsawan murni) sehingga walau dianggap telah mati tetapi tetap diberikan sebidang tanah. Namun, konsekuensi lainnya mereka tidak diperbolehkan mengunjungi kampung dan keluarganya begitu sebaliknya. Setelah melangsungkan pernikahan ala to sama (orang kebanyakan yang bukan keturunan bangsawan) tanpa simbol kebesaran keluarganya mereka harus berpisah dengan keluarga, dari raut wajah si Batu Lotong terlihat jelas linangan air mata yang tumpah ruah di cawan wajahnya sebab kebahagiaan tertinggi dari seorang gadis kala sang pujaan datang meminang maka hari itu bagaikan lebih baik dari pada seribu bulan. Tetapi, kenyataan pahit yang diterimanya membuatnya harus terpisah dengan keluarga ang seharusnya menemani dihari itu, bukan malah menyendiri dari keramaian.
Dari selala-sela rongga mulut i philo sang ayah si Batu Lotong keluar sebuah hembusan angin yang ketika telinga manusia-manusia disekitanya mendengarnya maka orang-orang berkata betapa berat kata-kata itu harus keluar dari mulut sang ayah pada anaknya “palini alemu (sekarang mandirilah)”, setelah mendengar kata-kata itu maka si Batu Lotong dan teknologi harus pergi berdua sepasang suami istri yang bagai binatang yang terbuang dari kumpulannya di hari yang sangat bahagia menjadi hari terakhir mereka bertemu dengan kedua orang tuanya.
Perpisahan itu rupanya membuat dendam tersendiri dalam hati si teknologi modern sebab pada dasarnya tujuan utama mencintai si Batu Lotong selain kemolekan tubuh dan paras ayunya, menyimpan rencana lain yakni merebut tanah adat sebab menurut alat pendeteksi di tanah adat tersebut terdapat sumber minyak yang melimpah ruah. Karena alasan itulah rupanya si teknologi modern rela berkorban untuk mengantar si Batu Lotong keliling kampung dengan cara seperti itulah untuk mendeteksi potensi sumber daya yang dimiliki kampung si Batu Lotong. Saat malam pertama tiba bukan belaian kemesraan yang didapat oleh si Batu Lotong malah kemolekan tubuhnya dan paras ayunya direnggut oleh alat teknologi modern yang berkekuatan mesin canggih yang melukai kemolekan tubuhnya dengan mengeruk keperawanan sungai Batu Lotong dan merusak paras ayunya Batu Lotong dengan membongkar batu digunung yang juga turut melibas pohon-pohon, dengan sekejap si teknologi modern merubah perawan si Batu Lotong menjadi seorang nenek peot yang renta segaligus penuh penyakitan.
Si teknologi modern bukan hanya melukai dan merusak keperawanan si Batu Lotong tetapi yang lebih bias dari itu semua, hubungan birahi keduanya melahirkan seorang anak si robot dengan geng dominan sang teknologi modern. Si robot tak mengenal batasan adat apalagi hal-hal yang bersifat spiritual semua sumber daya alam dieksploitasi secara brutal dan yang paling memilukan segaligus menyayat hati sebab si robot malah mengekspansi tanah adat, sehingga masyarakat yang ada kemudian dijadikan sebagai buruh-buruh di pabrik-pabrik yang malah turut menikmati kemolekan daratan, air dan gunung-gunung yang mengandung minyak yang merupakan tubuh dari ibunya sendiri yang tak lain si Batu Lotong.
Batu Lotong merupakan simbol dari wajah kemolekan alam yang kemudian manusia berupaya mengeksploitasi alam dengan mesin-mesin teknologi modern, pada awalnya manusia yang menghendaki eksploitasi tetapi lambat laun manusia yang awalnya pengendali tetapi secara derastis alat-alat teknologi modernlah yang mengendalikan manusia, buruh sebagai simbol manusia yang ditaklukan oleh robot-robot mesin pabrik dan bahkan waktu istirahatnya ditentukan oleh kondisi mesin bukan pada kondisi manusia. Persaingan antara antropologi dan psikologi untuk menaklukan si Batu Lotong tetapi keduanya gagal bersaing dengan teknologi modern yang tak lain adalah ciptaannya sendiri.
Oleh: A Hendra Dimansa
*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar