Selasa, 09 Juni 2015

Tuntaskan Geng Motor Secara Edukatif dan Filosofis

www.desamodern.com
Oleh | Marham Mubarak M

Setiap makhluk, bahkan Tuhanpun akan selalu menunjukkan eksistensinya hanya karena ingin memberitahukan bahwa ia ada.

Geng motor merupakan satu dari sekian permasalahan konkret yang marak terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Makassar sebagai salah satu kota metropolitan sarat akan keramaian, riuh pikuk perkotaan, dan suasana malam yang tampak indah oleh kilauan lampu jalan, panganan khas Bugis-Makassar, serta sejuk angin sepoi-sepoi di sudut pantai losari. Malam semakin larut, keramaian pun mulai agak suntuk, orang-orang tampak sepi berlalu-lalang hanya sesekali ada kendaraan yang melintasi jalan-jalan protokol. 

Satu segmen keramaian telah usai pada jam-jam larut malam, namun ada satu segmen baru yang juga termasuk keramaian. Bila sebelumnya keramaiannya tampak tenang, teratur, dan ramah, namun untuk keramaian yang satu ini sarat akan chaos, perkelahian, balapan liar, hingga pembunuhan. Yups, geng motor mulai beraktivitas sebagaimana biasanya.

Bila keramaian sebelumnya didominasi oleh kalangan terpelajar, pendidik, dan pejabat, namun untuk keramaian yang satu ini didominasi oleh kalangan pelajar, preman, dan pengangguran. Dengan berbagai konflik yang sifatnya provokatif mereka berseteru antar kelompok geng motor, mereka mempunyai wilayah teritorial tersendiri untuk selalu dijaga bila ada kelompok sejenis yang hendak mengacau. 

Fenomena geng motor kebanyakan didominasi oleh kalangan “terpelajar”, siswapun tak luput dari cengkraman geng motor, alih-alih ingin memperlihatkan kejagoan malah merembes pada liang kebrutalan dan aksi anarkis. Tentu potret dunia sekolah kita menjadi sorotan publik, ada apa di sana?. Satu lagi yang agaknya lucu untuk menjadi perhatian selaku warga Makassar, corak berpikirnya yang terkadang pa’bambangngang na tolo. 

Masih hangat dalam ingatan kita beberapa bulan yang lalu, marak bermunculan broadcast yang mengingatkan untuk tidak melewati jalan-jalan tertentu karena kuat dugaan akan ada pertempuran fisik antar geng motor. Meskipun tidak sedikit yang mengabaikan pesan-pesan seperti itu, namun juga tidak sedikit dari pesan itu terjadi sesuai bunyi pesannya. Jalan-jalan ditutup, penjagaan polisi yang diperketat, hingga riuh suara knalpot motor menunjukkan bahwa peristiwa itu memang betul-betul terjadi.

Namun, betapapun itu anarkisme yang ditimbulkan oleh para anggota geng motor, pada dasarnya hanya ingin menunjukkan eksistensinya, ingin tampil dan menunjukkan bahwa mereka itu ada sebagai bagian daripada masyarakat. Setiap manusia selalu ingin memperlihatkan kewujudannya, jangankan manusia rumputpun juga ingin menunjukkan bahwa dirinya ada sebagai bagian daripada makhluk bumi, misalnya saja rumput yang tumbuh ke permukaan aspal, bagaimanapun caranya ia akan terus menerobos aspal agar dirinya mampu terlihat.

Geng motor sebagai sebuah komunitas yang bergerak di bidang otomotif pun juga ingin menunjukkan bahwa mereka itu ada bagaimanapun caranya, perkumpulan seperti itu ada di tengah-tengah masyarakat kita. Oleh karena itu, tindakan-tindakan anarkis yang sering ditimbulkan adalah sebagai cara untuk mewujudkan dirinya. 

Pemerintah tak seharusnya merespon fenomena seperti itu dengan kekerasan juga, melainkan hanya perlu sedikit polesan agar mereka itu diperhatikan, artinya seharusnya mereka itu diwadahi sebuah lembaga dimana kelak geng motor tidak lagi menjadi hama di masyarakat kita. Bukan tidak mungkin bila kelompok-kelompok seperti itu, bila diberdayakan, maka akan lahir sebuah komunitas unik dan menarik, yang akan menjadi ikon di Makassar. Bukan sebuah kemustahilan pula akan terlahir pembalap-pembalap yang berani dan tangguh, melihat karakter mereka yang memang seperti itu guna mengharumkan nama kota daeng.

Justru bagi penulis fenomena seperti ini adalah hal baik, karena potensi sudah ada tinggal bagaimana pemerintah mau melirik potensi itu, ini adalah potensi yang luar biasa. Penulis teringat dengan wakil presiden kita, Jusuf Kalla, di salah satu stasiun tv yang kurang lebih mengatakan, “Fenomena aksi tawuran dan kekerasan di kalangan pelajar, justru baik. Karakter berani itu sudah ada, tinggal kita yang mengarahkannya. 

Kayu kita di Kalimantan diambil, emas di Papua diambil kita bisanya senyum-senyum saja, kita juga harus melawan.” Artinya, aksi-aksi seperti itu harus disikapi secara bijak, memanfaatkan potensi mereka adalah tindakan yang solutif agar mereka tidak selalu dipandang sebelah mata sebagai sampah masyarakat. Kekayaan alam kita sungguh sangat melimpah ruah, tinggal kita bagaimana mau menjaga dan mengeksploitasinya secara sehat, bukan hanya sekedar mengeksploitasi dengan pengkalkulasian untung rugi.

Jadi, bagi penulis, pertama, wajah pendidikan kita perlu dipoles dari yang hanya edukatif juga harus filosofis. Kedua, pemerintah harus inovatif dan kreatif dalam menghadapi permasalahan geng motor. Budaya Makassar yang dinilai keras oleh masyarakat luar memang tidak bisa dipungkiri, namun bagaimanapun juga budaya Makassar adalah bagian dari budaya Indonesia yang perlu dilestarikan secara cerdas oleh pemerintah. Indonesia masih pada taraf tingkatan negara berkembang, masyarakat kita memerlukan revolusi cara berpikir yang berbeda dan selalu ingin menatap masa depannya. Semoga dengan cara ini menjadikan Makassar pada khususnya sebagai satu dari kota besar “metropolutan” dengan sekian permasalahannya mampu keluar dan meraih cita-citanya sebagai kota dunia.

*Penulis adalah mahasiswa jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin, Filsafat, dan Politik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar