Oleh: Ahmad Aufa Zainal*
Ilustrasi |
Sudah tidak asing lagi dan sudah tidak heran lagi ketika mendengar kata Politikus. Banyak orang yang mendefinisikan kata politikus. Tetapi menurut situs wikipedia.com Politikus (Jamak; Politis) adalah seseorang yang terlibat dalam politik dan terkadang juga masuk para ahli politik.
Sedangkan kata Poli-'Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah bentuk terikat banyak dan Tikus yang disimbolkan sebagai pencuri dalam dunia politik adalah koruptor sehingga Poli Tikus diartikan sebagai "Banyak Tikus".
Memang politik seakan menjadi ruang tersendiri yang amat besar untuk diperbincangkan. Politik seakan menjadi media sirkular yang mempertemukan wajah-wajah humanis dengan panggilan eskatologia dan kontestasi sekular (Bodiou, 2002 : 23) Etika politik yang terjun bebas seakan menjadi duka yang mendalam bagi rakyat Indonesia.
Banyak para politikus yang berubah menjadi tikus karna nafsu yang bertahta pada dirinya dan banyak juga para politikus yang moralitas dalam berpolitknya sudah berada diliang lahat. Transparasi dan akuntabilitas belum menjadi prioritas prinsip dalam menjalankan tata kelola pemerintahan.
Mereka seenaknya menjadikan trayek demokrasi (Proses otonomi daerah, Politik pemilu (kada), reformasi birokrasi) yang penuh gonjang-ganjing ini sebagai instrumen utama menguras 'isi perut' negara. Dan dari celah sempit inilah para tikus berusaha semaksimal mungkin untuk dapat masuk kedalamnya dan mengambil yang bukan miliknya kemudian lari begitu cepatnya.
Di negeri ini demokrasi menjadi halusinasi ketika masyarakat masih dililit kemiskinan, pendidikan yang rendah dan mengalami penderitaan ekonomi secara strukturatif. Akibatnya institusi demokrasi seperti konstitusi, pemilu, atau partai poliik akan dengan mudah jatuh ke tangan penyelaggara kapital (Dahl, 1985).
Partai politik yang menjadi harapan bagi banyak rakyat yang berfungsi untuk mentransformasi nilai-nilai dan prinsip politik kepada publik justru terjebak dalam kesibukan politik pragmatis yang mengejar posisi/kekuasaan.
Untuk mencari kekuasan dan atau mempertahankan kekuasaan banyak para politikus yang berusaha menempatkankan 'orang dekat' termasuk yang memiliki hubungan darah sebagai bagian dari inti kekuasaan yang dimiliki. Maka timbullah kecenderungan politik oligarki di kalangan partai-partai politik dan atau dinasti yang merambah. Banyak para politikus/ tokoh politik yang memposisikan anggota keluarganya sebagai bagian dari pengurus partai politik atau mengganti dan berbagi kekuasaan di lembaga penyelenggara negara. Maka lewat jalan inilah dapat terindikasi adanya korupsi seperti yang terjadi di Banten.
Sama halnya dengan rangkap jabatan. Rangkap jabatan bagi sebahagian ahli politik dipandang tidak etis karena tidak bekonsentrasi dalam bekerja maka timbullah konflik kepentingan.
Tetapi tidak semua politikus memiliki sifat seperti tikus. Masih ada juga politikus yang memiliki kompetensi dan integritas tinggi, mereka siap hidup dalam kesehajaan, kejujuran dan keberanian yang didukung oleh integritas dan moralitas yang tinggi seperti bapak pers Indonesia Tirto Adisuryo misalnya.
Tidak mudah memang menjadi seorang politikus karena yang menjadi teman adalah "masalah" sehingga politikus dituntut untuk selalu berfikir secara kritis dan mengkaji agar bias berpisah dari masalah dan bersahabat dengan kesejahteraan bersama rakyat.
*Penulis adalah mahasiswa fakultas Ushuluddin, Filsafat, dan Politik, Jurusan Ilmu Politik Semester satu.
Gambar: antitankproject.wordpress.com
Sedangkan kata Poli-'Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah bentuk terikat banyak dan Tikus yang disimbolkan sebagai pencuri dalam dunia politik adalah koruptor sehingga Poli Tikus diartikan sebagai "Banyak Tikus".
Memang politik seakan menjadi ruang tersendiri yang amat besar untuk diperbincangkan. Politik seakan menjadi media sirkular yang mempertemukan wajah-wajah humanis dengan panggilan eskatologia dan kontestasi sekular (Bodiou, 2002 : 23) Etika politik yang terjun bebas seakan menjadi duka yang mendalam bagi rakyat Indonesia.
Banyak para politikus yang berubah menjadi tikus karna nafsu yang bertahta pada dirinya dan banyak juga para politikus yang moralitas dalam berpolitknya sudah berada diliang lahat. Transparasi dan akuntabilitas belum menjadi prioritas prinsip dalam menjalankan tata kelola pemerintahan.
Mereka seenaknya menjadikan trayek demokrasi (Proses otonomi daerah, Politik pemilu (kada), reformasi birokrasi) yang penuh gonjang-ganjing ini sebagai instrumen utama menguras 'isi perut' negara. Dan dari celah sempit inilah para tikus berusaha semaksimal mungkin untuk dapat masuk kedalamnya dan mengambil yang bukan miliknya kemudian lari begitu cepatnya.
Di negeri ini demokrasi menjadi halusinasi ketika masyarakat masih dililit kemiskinan, pendidikan yang rendah dan mengalami penderitaan ekonomi secara strukturatif. Akibatnya institusi demokrasi seperti konstitusi, pemilu, atau partai poliik akan dengan mudah jatuh ke tangan penyelaggara kapital (Dahl, 1985).
Partai politik yang menjadi harapan bagi banyak rakyat yang berfungsi untuk mentransformasi nilai-nilai dan prinsip politik kepada publik justru terjebak dalam kesibukan politik pragmatis yang mengejar posisi/kekuasaan.
Untuk mencari kekuasan dan atau mempertahankan kekuasaan banyak para politikus yang berusaha menempatkankan 'orang dekat' termasuk yang memiliki hubungan darah sebagai bagian dari inti kekuasaan yang dimiliki. Maka timbullah kecenderungan politik oligarki di kalangan partai-partai politik dan atau dinasti yang merambah. Banyak para politikus/ tokoh politik yang memposisikan anggota keluarganya sebagai bagian dari pengurus partai politik atau mengganti dan berbagi kekuasaan di lembaga penyelenggara negara. Maka lewat jalan inilah dapat terindikasi adanya korupsi seperti yang terjadi di Banten.
Sama halnya dengan rangkap jabatan. Rangkap jabatan bagi sebahagian ahli politik dipandang tidak etis karena tidak bekonsentrasi dalam bekerja maka timbullah konflik kepentingan.
Tetapi tidak semua politikus memiliki sifat seperti tikus. Masih ada juga politikus yang memiliki kompetensi dan integritas tinggi, mereka siap hidup dalam kesehajaan, kejujuran dan keberanian yang didukung oleh integritas dan moralitas yang tinggi seperti bapak pers Indonesia Tirto Adisuryo misalnya.
Tidak mudah memang menjadi seorang politikus karena yang menjadi teman adalah "masalah" sehingga politikus dituntut untuk selalu berfikir secara kritis dan mengkaji agar bias berpisah dari masalah dan bersahabat dengan kesejahteraan bersama rakyat.
*Penulis adalah mahasiswa fakultas Ushuluddin, Filsafat, dan Politik, Jurusan Ilmu Politik Semester satu.
Gambar: antitankproject.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar