Oleh | Ruslan
Korupsi menjadi suatu mantra ajaib bagi para elit untuk menjarah anggaran negara, fenomena korupsi di negri ini sudah menjadi budaya yang tak terbantahkan. Sebagian orang mungkin tidak sepakat dengan adanya pernyataan bahwa korupsi adalah budaya bangsa kita, sebab sejarah mencatat bangsa kita adalah bangsa yang menjujung tinggi budaya panutan terhadap raja. Dalam artian budaya satu orang yang berpikir yang lain mengikut, itulah perilaku masyarakat kita. Akan tetapi jika di lihat dari realitas kongkrit hari ini, institusi KPK di buat sibuk dan kewalahan oleh para elit politik yang tersangkut pidana korup. Akhir-akhir ini masyarakat sudah cerdas untuk melihat dan menyaksikan figur yang dapat di jadikan sebagai figur publik, belum lagi media massa menghadirkan figur-figur baru dengan kemasan baru pula tetapi isinya sama.
Jabatan merupakan amanah masyarakat untuk di pergunakan sebaik mungkin, mendistribusikan keadilan dan kesejahteraan. Manusia adalah representasi tuhan di muka bumi (khalifah) untuk mengurus alam semesta, tetapi sebagian dari mereka mempergunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Memperkaya diri sendiri dan menindas orang lain, merupakan hal yang lajim kita temuka di negri ini. Awalnya seseorang memiliki idealisme yang cukup tinggi, mengkritisi sistem dan pemerintahan ketika berada di luar dari sistem. Lain halnya ketika berada dalam sistem dan memegang posisi strategis, sedikit saja di tawari dengan harta hatinyapun luluh.
Ada apa dengan negeri ku yang kaya dengan isi alam yang melimpah, hutan menjurus dari sabang sampai merauke, isi laut penuh dengan milyaran jenis ikan. Kekayaan alam seharusnya bisa mensejahterahkan rakyat, akan tetapi jauh panggang dari api. Kekayaan menjadi buah simalakama bagi tuannya. Mengutip apa yang di katakan oleh Mahatma ghandi “sumber daya alam mampu memenuhi kebutuhan orang banyak akan tetapi tidak mampu memenuhi satu orang yang serakah”.
Dalam undang-undang dasar (UUD 1945) pasal 33 ayat 3 menjelaskan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Amanah undang-undang tidak dilaksanakan sebagaimana adanya, pemerintah cenderung melakukan privatisasi terhadap aset-aset negara dan tidak pede untuk memberikan ke pertamina untuk mengelolah. Sebenarnya putra daerah cukup kompeten mengelolah hasil-hasil alam walaupun secara teknologi indonesia masih di bawah di bandingkan dengan negara-negara lain, namun bukan berarti kita tidak bisa mengelolah sendiri, akan tetapi pemerintah tidak mempunyai kemauan politik (politikal will).
Kasus yang melanda Satuan Kerja Khusus Dan Gas Bumi (SKK MIGAS), wisma atlet hambalang, centeri dan lain sebagainya. Merupakan tamparan keras bagi institusi negara, hal ini di sebabkan sudah menjamurnya wabah korupsi yang meraja lelah di negri ini. Mentri sebagai perpanjangan tangan dari masyarakat seharusnya bisa memperjuangkan kepentingan masyarakat, malahan melakukan penyelewengan atas jabatan yang di emban. Sekilas kalau di lihat dari sosok mentri SKK MIGAS tampak berwibawa dan teduh, tetapi siapa yang tahu dari sosok kalem tersebut ternyata hanyalah topeng. Kita di kejutkan dengan ditemukan puluhan dollar uang luar negri bejibun di lemari kantor rudi rubiandini hasil penjarahan aset negara. Saya percaya kalau dia pada awal masuk menjabat sebagai mentri negara memiliki visi membangun energi indonesia, akan tetapi ketika masuk dalam lingkaran partai korup, maka tak heran perbuatannya berubah seratus derajat.
Indonesia sudah terlanjur menjadi negara besar dan kaya, sehingga menjadi pelita ditengah gelap gulita. Investor asing bak penyakit diabetes di tengah negri ibu pertiwi. Tiada kata yang dapat kita ucapkan selain dari melakukan nasionalisasi aset-aset negara dan mengusir koloni-koloni ekonomi barkeley yang menghegemoni. Kita pasti bisa kalau ada kemauan……
Tidak ada komentar:
Posting Komentar