Rabu, 22 Januari 2014

Relakan Aku…!

Oleh: Kartika Yusuf

Tanggung jawab, kata yang cukup sederhana namun makna di baliknya yang menyimpan sejuta pengorbanan. Sebenarnya aku belum siap dengan kata itu disandingkan ke bahuku. Namun apa daya itu telah terjadi. Waktu dan keadaan yang memilihku. Jadi mau tidak mau harus kuterima meski hati menjerit. Belajar ikhlas dengan mengembalikan semua pada yang di atas. Aku yakin Allah tidak pernah tidur.
 
Bermodalkan nekat setelah lulus Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), aku memutuskan untuk mengambil kerja yang ditawarkan oleh pihak sekolah. Semua teman-temanku sangat menyayangkan karena mereka menilai aku sangat berpotensi untuk melanjutkan kuliah. Dari segi pengetahuan mungkin aku lebih mampu dari mereka tapi apakah mereka tahu kalau dari segi ekonomi mereka jauh lebih mampu dari aku!? Aku bukan orang bodoh yang ingin memilih B jika ada A yang lebih tepat.
 
Sekali lagi keadaan yang memaksaku untuk melakukan ini, bisa tamat SMK sudah menjadi kepuasan tersendiri bagiku. Sebenarnya jika aku mau, aku bisa kuliah dengan biaya negara seperti sejak sekolah tapi banyak hal yang lebih penting dari itu. Aku tetap pada pilihanku. Bekerja. Awalnya pihak keluarga tidak mengizinkan, terutama ibu, tapi dengan berbagai alasan dan bujukan yang terlontar dari mulutku, akhirnya ibu luluh meski dalam hatinya masih belum ikhlas melepas aku.
 
Menjelang hari keberangkatanku yang tinggal menghitung hari, angan-anganku sudah terbang jauh mengambang. Entah sampai mana ia berlari. Aku membiarkannya tetap berjalan dan aku menikmatinya hingga akhirnya kembali pada posisi kesadaran. Tidak dapat kupungkiri kalau harapanku adalah ingin melihat wajah kekasih yang sangat aku cintai, kekasih yang tidak pernah mengcewakanku, kekasih yang selalu menjadi sumber kekuatanku, dan kekasih yang tidak akan pernah lupa menyebut namaku di setiap doa-doanya. dialah ibu. Aku ingin bertemu ibu. Ibu yang meninggalkanku dan adikku selama bertahun-tahun, namun itu semua karena keadaan. Keadaan yang memaksa mereka untuk jauh dari aku dan adikku. Keadaan yang memaksa mereka untuk mengorbankan hati dan perasaannya.
 
Malam ini aku enggan tidur. Aku ingin benar-benar menikmati malam terkhirku di bumi kelahiranku. Menikmati suasana kampung yang tidak bisa lagi kunikmati dengan jangka waktu yang sulit aku tentukan. Malam seakan berlalu menjelma menjadi pagi hari. Hari di mana aku harus melangkahkan kaki ini jauh dari famili.
 
“Doakan aku ya, nek,” ungkapku kepada nenek yang selama ini menggantikan peran ibu. Kugenggam tangannya, kurangkul tubuhnya dengan erat. Begitu lamakah ibu meninggalkan aku? Lagi-lagi ibu. Dalam pelukan nenek aku masih mengharapkan ibu. Nenek sudah tidak sanggup lagi mengeluarkan kata-kata. Hanya anggukan yang mengisyaratkan bahwa dia akan mendoakanku.
 
“Ria belajar yang rajin!” kataku sambil mengelus-elus kepala adikku. Adik perempuan satu-satunya yang sangat aku sayangi. Dia adalah salah satu alasanku untuk kerja. Lagi-lagi Ria hanya menggunakan bahasa isyarat sebagai tanda iya dengan tangannya merangkul dan memegang erat lenganku seakan tidak merelakan kepergianku.
 
“Ria!” panggilku dengan lembut, “Kakak tidak lama. Intinya sekarang kamu harus fokus belajar supaya bisa masuk PTN. Oke!?” lanjutku.
 
“Aku tidak mau kuliah!” jawab ria dengan lantang. “Ini tidak adil, kak! Harusnya kakak itu sekarang urus agar bisa masuk kuliah, bukan malah urus kerja di luar negeri,” lanjutnya.
 
Aku diam seribu kata. Aku tidak ingin menanggapi kata-katanya. Harusnya memang aku kuliah seperti teman-temanku yang lain, tapi itu sudah tidak berlaku dalam lingkar hidupku.
 
Aku menjerit dalam hati. Aku juga maunya seperti itu, Ria. Aku sangat ingin kuliah, tapi aku tidak boleh egois. Aku harus memikirkan juga masa depanmu. Aku ini lelaki yang tanpa kuliah bisa mencari kerja sedangkan kamu apa yang bisa kamu lakukan ketika sudah tamat SMA tanpa kuliah? Ekonomi orangtua kita tidak mampu membiayai untuk lanjut kuliah kita berdua, dan inilah namanya pengorbanan.
 
Aku hanya menatap adikku dalam-dalam. Aku biarkan dia memaknai pandanganku.
 
“Kakak jalan dulu.” Kulepaskan genggamannya dan berjalan menuju mobil yang dari tadi menungguku. Aku meminta untuk tidak ada yang mengantarku ke bandara agar tidak tercipta suasana haru yang mendalam.
 
Meninggalkan dan ditinggalkan semua pasti mempunyai kesan yang sulit untuk terangkai dalam kata-kata. Biarkan hati yang memahami satu sama lain. Biarkan hati yang memaknai semua yang terjadi. Langkahku yang bermodal nekat, berbekal nafas redup, diiringi langkah yang lamban demi mencapai tujuan yang tinggi. Tidak peduli walau sayupan maut adalah resikonya, meski hanya secuil cahaya yang datang aku akan tetap bertahan di rantauan.
 
*Penulis adalah mahasiswi jurusan Ilmu Komunikasi semester III

Tidak ada komentar:

Posting Komentar