Oleh: Anugrah Reskiani
Braakkkkkkk! Sebuah ponsel melayang menabrak tembok dengan suara keras dan membanting ke lantai, diikuti dua pasang mata terpaku mengawasi gerak ponsel itu yang kemudian tertelungkup di lantai dengan dua bagian terpisah jauh.
“Apa harus banting barang seperti itu!?”
“Siapa yang mulai!?”
“Itu karena kamu selalu menuntut segalanya harus sempurna. Segalanya perfek seperti yang kamu mau.”
“Di dunia ini memang tidak ada yang sempurna, tapi apa salahnya belajar menjadi sempurna.”
“Kalau begitu, silahkan cari yang sempurna.”
Plaaakkk!
Tanpa sadar, tanganku menampar pipi kirinya, lelaki yang dengan garangnya berdiri di hadapanku.
“Aku tidak butuh orang lain yang sempurna. Aku hanya ingin kamu yang belajar untuk menjadi sempurna dengan usahamu,” bentakku lagi padanya.
“Kamu!” ujarnya muntab. Nafasnya tertahan di dada. Matanya merah, semerah pipinya yang telah terkena tamparanku. “Memang kebiasaanmu main tangan! Selalu saja begitu, tidak pernah mau berubah, cari saja di luar sana yang seperti keinginanmu!”
Semua terjadi begitu cepat dan dengan tiba-tiba, bahkan aku belum sempat memikirkan segalanya hingga semua terlewatkan dan menyulap suasana berubah seketika. Menyeramkan. Membunuh nafasku dalam sekejap. Suram.
Spontan aku menoleh setelah terusik suara bising motor yang tiba-tiba saja muncul tepat di depan pintu. Benar saja, dia yang sudah siaga dengan wajah kosong tanpa ekspresi lebih terlihat garang.
“Ayo, aku antar kamu pulang.” Nadanya yang datar malah terdengar getir dan tajam. terasa menyayat-nyayat beberapa pangkal nadiku bahkan nyaris mencopot jantungku dari tali gantungannya di dalam sana. Entahlah, aku hanya merasa hampa melihat sisi lain lelaki yang selama ini aku kenal sebagai sosok yang asik, meski selalu sulit ditebak. Penuh perhatian walau terkadang tidak acuh dengan hal-hal kecil di sekitarnya.
“Aku tidak mau beranjak dalam keadaan seperti ini,” tolakku dengan lirih. Hanya itu yang bisa aku katakan namun tidak mendapat jawaban apapun. Rasanya suaraku hanya tertahan di tenggorokan, tidak keluar sama sekali. Bisa aku pastikan dia pun tidak mendengarnya. Meskipun tampang bodohku kadang membuatku berpikir, lelaki yang berdiri di hadapanku itu dapat selalu mengerti apapun yang aku inginkan tanpa harus mengatakannya.
Naif memang jika aku menganggap dia bisa tahu apa yang sedang aku katakan meski tidak terdengar olehnya sekalipun. Sekali lagi aku mencoba meneriakkan yang ingin aku katakan dengan seluruh tenagaku yang masih tersisa.
“Sini dulu!”
“Sudah! Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan!”
“Tidak...”
“ya sudah kalau tidak mau ikut pulang!” Sekajap motor hitam berbalut debu itupun berbalik dan melaju pergi meninggalkan riak yang mengiang di kapalaku.
Aku tidak lagi bisa menjawabnya, juga tidak bisa kujelaskan mengapa aku tidak punya alasan untuk itu. Tidak punya kalimat yang pas ataukah memang benar-benar malas menanggapinya. Aku tidak tahu harus memilih redaksi kata yang mana untuk mengungkapkannya.
Aku hanya terduduk kaku, fokus memperhatikan inci demi inci aksi film animasi Mega Mind yang kutonton tanpa subtitle. Otakku sudah benar-benar buntu dan malas untuk memikirkan apapun saat ini.
Tak lama kemudian aku pun terserang kebosanan yang amat menggelisahkan. Rasa itu mendorongku untuk segera beranjak dan berjalan tanpa arah, merayapi lorong basah dan becek yang lumayan sempit dengan suasana horor yang sangat jelas terasa dalam cahaya remang-remang dan nyaris gelap total.
Setelah lama melangkah dan mulai kelelahan, aku pun memutuskan untuk bertandang ke sebuah mini store yang di pinggir jalan. Di sana, aku pun tidak betah berlama lama.
Sepanjang jalan pulang, aku hanya memikirkan satu kalimat yang tiba-tiba saja kulontarkan pada teman sepulang dari bermain ice skating suatu sore .
“Setiap kali akan bertemu dengannya perasaanku selalu tidak enak, tidak karuan.”
Langkahku melambat, mataku terpaku pada benda kecil yang bertengker di tangan lelaki yang sedang duduk termenung di koridor rumah kontrakan bertembok hijau. Dia terlihat sedang menikmati tiap sulutan rokoknya.
Tanpa berpikir lagi aku segera menghampirinya, merampas benda kecil yang sudah hampir habis terbakar itu, lalu membuangnya. Seketika aku menyadari kalau tidak ada perlawanan sama sekali darinya. Seakan dia merelakan benda itu aku enyahkan.
“Oh, jadi seperti ini? Ngambek sedikit saja kamu kembali lagi ke kebiasaan lama kamu,” serangku tiba-tiba setelah berhasil duduk di sebelahnya.
“Aku hanya tida suka jika kamu terbiasa membanting barang. Ini bukan soal ponselnya, tapi aku hanya tidak suka dengan caramu. Aku juga tidak suka kalau kamu tidak bisa menghilangkan kebiasaan main tangan itu,” gerutu lelaki itu yang seketika menampar kesadaranku.
Kalimat itu merayapi tubuhku seperti mengganti aliran darah dinadiku. Dia menyadarkanku tentang hal itu. Aku memang seorang perempuan kejam yang baginya belum berhasil dia jinakkan.
“Maaf, itu salahku. Tapi aku tidak suka dengan caramu. Aku melarangmu merokok bukan untuk diriku, hanya saja terlalu sakit harus melihatmu muntah tiap hari di hadapanku,” balasku.
Mataku tidak lepas mengawasi roman datar di wajah lelaki itu. Mencoba menyelami arah pikirnya dan selalu membuatku bertanya-tanya dalam hati.
“Semua ini demi kebaikanmu. Kalau sekarang aku tidak lagi berarti di sisimu, detik ini pun aku bisa pergi darimu. Aku tidak butuh hasil dari hari ini, yang ingin aku nikmati hanya proses,” pintaku padanya.
“Demi kamu, aku sudah berusaha berubah. Aku mati-matian menghindari rokok, mabuk-mabukan, atau begadang. Aku berusaha meninggalkan semua kebiassan burukku yang tidak kamu sukai, tapi semua butuh proses. Tidak bisa instan, karen aku bukan robot…”
Tiba-tiba aku menyelanya, “Aku tidak pernah memintamu berubah demi aku. Apa kamu tidak pernah merasakan bagaimana menyayangi seseorang? Kamu tidak tahu bagaimana rasanya melihat orang yang kamu sayang menderita di hadapanmu. Kamu tidak tahu bagaimana sakitnya aku melihat kamu tersiksa setiap saat hanya karena rokok?”
Lelaki itu membuatku mulai berpikir bahwa aku sama sekali tidak berarti lagi baginya. Aku juga tahu bahwa akupun bukan remot yang bisa mengontrol dia dan menyulapnya menjadi yang aku inginkan dan bukan berarti aku juga selalu benar tanpa salah di matanya, karena aku juga butuh dia untuk menegurku di saat aku sedang salah.
“Tapi aku sudah berusaha untuk berubah, aku tidak pernah menginginkan kamu pergi dari sisiku. Aku ingin kamu tetap di sini karena kamu berharga lebih dari segalanya, bawel.” Kalimat itu seakan membawaku ke planet paling hangat setelah pertengkaran hebat yang membekukan tubuhku di saat cuaca sedang baik-baik saja.
Setelah suasana mereda, lelaki itu menjadi kalem, nyaris seperti malaikat tanpa sayap yang berjanji untuk saling hidup berbaikan denganku, memperbaiki setiap kesalahan yang lalu dan menata masa depan yang indah bersama. Dia mengubah setiap pikiran burukku tentang sesuatu yang terkadang membuatku berpikir bahwa aku tak berarti baginya. Aku juga merasakan ketakutannya akan kehilanganku
Sederhananya kami berdua bukanlah makhluk sempurna namun saling membutuhkan untuk belajar menjadi nyaris sempurna.
“Aku Ans, aku bukan robot.”
“Dan aku Rara, aku bukan remot”
Kami saling membisikkan kalimat itu ditelinga masing-masing, lalu tertawa lepas tanpa batas. Karena kami berada tiga meter di atas langit, bebas dan lepas.
Tapi itulah cinta yang berhasil mengontrol aku dan dia, lebih dari remote control.
* Penulis adalah anggota UKM LIMA Washilah, jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar