Oleh: Hasriadi
“Merasa sedang dalam perjalanan atau tengah berada dalam suatu tempat, di mana selalu terdapat kemungkinan penjelasan dan keterbukaan baru. Kesadaran inilah yang harus dikomunikasikan kepada kaum muda jika kita hendak menyadarkan mereka tentang kondisi mereka dan membuat mereka mampu memahami sekaligus mengidentifikasi dunia mereka”
Sebuah pernyataan yang diungkapkan oleh Maxine Greene, sebuah renungan akan makna pendidikan, peserta didik hadirnya untuk berpetualangan, kesadaran mengenai kemungkinan adanya gagasan-gagasan baru, merupakan pencerahan dalam dunia pendidikan yang tidak ada batasnya. Sebuah pertanyaan yang muncul, benarkah mahasiswa Farmasi UIN paham tentang kondisi mereka, dan mampukah mereka mengidentifikasi dunianya.
Farmasi UIN Alauddin Makassar sebagai salah satu jurusan favorit dan mendapat minat paling atas dalam proses seleksi penerimaan sebagai mahasiswa. Suatu hal yang sangat lumrah melihat rutinitas yang padat dan metode belajar yang keras dengan konsep pendidikan laboratorium yang diwariskan secara turun temurun yang katanya nantinya bermakna dalam melatih mental mahasiswa farmasi.
Garis hitam bawah mata adalah ciri khas dari mereka dan tentengan kotak alat, mungkin terkesan aneh, tapi kenyataanya memang seperti itu. Setiap kali pertanyaan terlontar mengenai apa alasan sistem pendidikan farmasi UIN seperti ini? jawaban yang lazim adalah “Saya juga dulu begini ja,”. jawaban yang tidak bisa memberikan makna akan arti sebuah hakikat pendidikan. Mungkin ketidakpahaman ini menjadikan pendidikan di Farmasi UIN terkesan seperti pendidikan ala Robot.
Robot menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah alat berupa orang-orangan yang dapat bergerak (berbuat seperti manusia) dan dikendalikan oleh mesin. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah benarkah mereka seperti Robot? Dan apa (baca: siapa) mesin yang mengendalikannya?
Lihatlah Farmasi UIN Alauddin hari ini, akreditasi yang dijadikan sebagai tolak ukur dan tujuan Jurusan seakan menjadi bumerang bagi mahasiswa karena cenderung dipaksakan. Tragedi tidak lulusnya satu angkatan dalam sebuah proses belajar mengajar salah satu dampak dari sistem atau strategi yang cenderung dipaksakan demi akreditasi jurusan katanya.
Freire seorang pakar pendidikan, mengecam metode belajar mengajar yang sering dijumpai dalam kelas-kelas pada umunya, biasa disebut Banking Concept of Education (BCE). Satu konsep yang digunakan sebagai alat ‘menindas’ kesadaran akan realita sejati dan menyebabkan seseorang menjadi pasif dan menerima begitu saja keberadaannya. Bagaimana tidak, suasana ruang-ruang belajar disulap menjadi suasana yang mencekam, seakan-akan otoritas mutlak adalah dirinya.
Sosilog dan Analisis Kebijkan kesehatan, Navarro, mengemukakan beberapa hal tentang potret tenaga kefarmasian sekarang ini, salah satu di antaranya adalah 'Tenaga Kefarmasian telah diproletariatkan, yaitu status profesional mereka secara bertahap telah dirusak oleh staff administrasi dan manajerial mengambil alih tanggungjawab untuk penyediaan layanan kesehatan'. Mahasiswa Farmasi yang didik untuk bekerja tanpa batas seakan mengokohkan Teori Marx tentang peraturan antar kelas. Ironisnya, pendidikan Farmasi hadir untuk mengokohkan itu.
Sekolah Alexandria, Bayt al-Hikmah dan sekolah Salerno adalah saksi sejarah pentingnya nilai-nilai etis dan estetis dunia pendidikan. Lahirnya sekolah Farmasi Philadelphia, Amerika Serikat, yang merupakan sekolah pertama Farmasi menjadi saksi gemilangnya Farmasi di negara Paman sam, bahkan menjadi tonggak awal berdirinya Farmasi sebagai Profesi dengan kapasitas otonomi tersendiri yang terpisah dari profesi kedokteran.
Bukan tanpa perjuangan hadirnya Farmasi dan mempunyai otonomi tersendiri karena dapat memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat. Hadirnya Farmasi UIN seharusnya menjadi tonggak awal bangkitnya Farmasi yang dalam sejarahnya memiliki dimensi unik dalam sejarah kehidupan manusia, seperti Rayhan Al-Biruni dalam masa peradaban Islam dengan konsep perapotekannya yang masih digunakan hingga saat ini. Ar-razi dan Ibnu Sina dengan teori-teorinya yang sekian abad digunakan oleh bangsa Barat.
Cerminan saat ini bahwa seolah kita terjebak dalam pola pendidikan progresif yang dikembangkan oleh bangsa Eropa, dan kita tidak bisa memaknai apa arti semua itu, maka terjebaklah kita dalam kondisi sekarang ini yakni pendidikan ala Robot.
Sebuah pernyataan yang diungkapkan oleh Maxine Greene, sebuah renungan akan makna pendidikan, peserta didik hadirnya untuk berpetualangan, kesadaran mengenai kemungkinan adanya gagasan-gagasan baru, merupakan pencerahan dalam dunia pendidikan yang tidak ada batasnya. Sebuah pertanyaan yang muncul, benarkah mahasiswa Farmasi UIN paham tentang kondisi mereka, dan mampukah mereka mengidentifikasi dunianya.
Farmasi UIN Alauddin Makassar sebagai salah satu jurusan favorit dan mendapat minat paling atas dalam proses seleksi penerimaan sebagai mahasiswa. Suatu hal yang sangat lumrah melihat rutinitas yang padat dan metode belajar yang keras dengan konsep pendidikan laboratorium yang diwariskan secara turun temurun yang katanya nantinya bermakna dalam melatih mental mahasiswa farmasi.
Garis hitam bawah mata adalah ciri khas dari mereka dan tentengan kotak alat, mungkin terkesan aneh, tapi kenyataanya memang seperti itu. Setiap kali pertanyaan terlontar mengenai apa alasan sistem pendidikan farmasi UIN seperti ini? jawaban yang lazim adalah “Saya juga dulu begini ja,”. jawaban yang tidak bisa memberikan makna akan arti sebuah hakikat pendidikan. Mungkin ketidakpahaman ini menjadikan pendidikan di Farmasi UIN terkesan seperti pendidikan ala Robot.
Robot menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah alat berupa orang-orangan yang dapat bergerak (berbuat seperti manusia) dan dikendalikan oleh mesin. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah benarkah mereka seperti Robot? Dan apa (baca: siapa) mesin yang mengendalikannya?
Lihatlah Farmasi UIN Alauddin hari ini, akreditasi yang dijadikan sebagai tolak ukur dan tujuan Jurusan seakan menjadi bumerang bagi mahasiswa karena cenderung dipaksakan. Tragedi tidak lulusnya satu angkatan dalam sebuah proses belajar mengajar salah satu dampak dari sistem atau strategi yang cenderung dipaksakan demi akreditasi jurusan katanya.
Freire seorang pakar pendidikan, mengecam metode belajar mengajar yang sering dijumpai dalam kelas-kelas pada umunya, biasa disebut Banking Concept of Education (BCE). Satu konsep yang digunakan sebagai alat ‘menindas’ kesadaran akan realita sejati dan menyebabkan seseorang menjadi pasif dan menerima begitu saja keberadaannya. Bagaimana tidak, suasana ruang-ruang belajar disulap menjadi suasana yang mencekam, seakan-akan otoritas mutlak adalah dirinya.
Sosilog dan Analisis Kebijkan kesehatan, Navarro, mengemukakan beberapa hal tentang potret tenaga kefarmasian sekarang ini, salah satu di antaranya adalah 'Tenaga Kefarmasian telah diproletariatkan, yaitu status profesional mereka secara bertahap telah dirusak oleh staff administrasi dan manajerial mengambil alih tanggungjawab untuk penyediaan layanan kesehatan'. Mahasiswa Farmasi yang didik untuk bekerja tanpa batas seakan mengokohkan Teori Marx tentang peraturan antar kelas. Ironisnya, pendidikan Farmasi hadir untuk mengokohkan itu.
Sekolah Alexandria, Bayt al-Hikmah dan sekolah Salerno adalah saksi sejarah pentingnya nilai-nilai etis dan estetis dunia pendidikan. Lahirnya sekolah Farmasi Philadelphia, Amerika Serikat, yang merupakan sekolah pertama Farmasi menjadi saksi gemilangnya Farmasi di negara Paman sam, bahkan menjadi tonggak awal berdirinya Farmasi sebagai Profesi dengan kapasitas otonomi tersendiri yang terpisah dari profesi kedokteran.
Bukan tanpa perjuangan hadirnya Farmasi dan mempunyai otonomi tersendiri karena dapat memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat. Hadirnya Farmasi UIN seharusnya menjadi tonggak awal bangkitnya Farmasi yang dalam sejarahnya memiliki dimensi unik dalam sejarah kehidupan manusia, seperti Rayhan Al-Biruni dalam masa peradaban Islam dengan konsep perapotekannya yang masih digunakan hingga saat ini. Ar-razi dan Ibnu Sina dengan teori-teorinya yang sekian abad digunakan oleh bangsa Barat.
Cerminan saat ini bahwa seolah kita terjebak dalam pola pendidikan progresif yang dikembangkan oleh bangsa Eropa, dan kita tidak bisa memaknai apa arti semua itu, maka terjebaklah kita dalam kondisi sekarang ini yakni pendidikan ala Robot.
*Penulis adalah mahasiswa jurusan Farmasi, fakultas Ilmu Kesehatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar