Suara bising kendaraan yang berlalu lalang di protokol jalan pettarani makassar, beradu dengan gemuruh canda para pemuda yang berkumpul di trotoar. Ada yang terdengar halus, meletup-letup, kasar, bergetar, membentak, atau sekedar diselingi jerit klakson yang malu-malu. Maklum saat itu rembulan tengah bercahaya cukup terang sehingga uang koin yang tercecer di tengah jalan mampu memantulkan cahayanya.
Kendaran-kendaraan itu ada yang berjalan ngebut, santai, ugal-ugalan, bahkan pelan ibarat kendaraan pengantin. Maklum sepasang pengendaranya juga sedang asyik meluapkan hasratnya lewat pelukan penuh meski diapit deru roda yang saling berkejaran. Roda-roda yang terus berjalan mengikuti arah tujuan si pengendara. Roda-roda yang kian ‘botak’. Roda-roda yang berdecit keras. Roda-roda yang patuh berputar. Roda-roda yang kotor karena debu jalan. Roda-roda hitam kendaraan bermotor.
Enam orang gadis dengan tiga sepeda motornya berhenti di hadapanku, sejenak menghalangi tontonanku menikmati setiap siluet kendaraan yang saling berkejaran di jalan. Enam gadis itu turun dari sepeda motornya dan mengambil enam buah kursi mengelilingi sebuah meja kecil di sampingku. Salah seorang dari mereka memesan enam cangkir kopi susu pada pemilik pedagang lapak yang bertengger di trotoar dan salah seorang lagi mengeluarkan sepasang kartu remi dari saku jaketnya. Lalu mulailah mereka bergantian bermain kartu remi sembari menunggu pesanan kopi susu mereka.
Penampilan mereka jauh dari penilaianku sebagai perempuan baik-baik; gadis yang pertama mengenakan baju polo merah berkerah dan celana jins krem. Rambutnya cepak dan beberapa biji jerawat menempel di pipinya. Gadis kedua mengenakan kaos putih yang ditutupi jaket hitam bertudung dan celana pendek. Rambutnya yang panjang diikat dengan pita biru. Dia duduk dengan mengangkat satu kakinya di atas kursi dan paling sering tertawa lebar. Gadis ketiga sedikit kalem, mengenakan switer biru gelap dan celana pendek. Rambutnya sebahu dan disembunyikan dalam tudung switernya. Gadis ketiga yang sama sekali tidak tampak seperti perempuan, dengan kaos oblong hitam dan celana jins biru pendek. Tubuhnya paling kecil lagi kurus. Gadis kelima berwajah oriental dan paling cantik di antara mereka. Mengenakan switer wol bergaris dan celana jins panjang. Rambutnya yang panjang bergelombang digerai bebas dan dia duduk tepat membelakangiku. Dan gadis keenam dengan tubuhnya yang kekar lebih memunculkan sifat maskulinnya. Lengan kaos oblong hitamnya dilipat dua kali ditambah tenaganya yang sesuai dengan bentuk fisiknya, memudahkannya melemparkan tiap kartu remi di tangannya dengan keras ke atas meja sedang di tangan kirinya menjepit sebatang rokok.
Sempat aku mencuri dengar sedikit dari pembicaraan mereka tentang tugas-tugas kuliah. Aku tahu mereka masih berstatus mahasiswa. Luar biasanya, ternyata mereka adalah mahasiswi jurusan Farmasi di salah satu perguruan tinggi swasta di kota Makassar. Aktivitas yang sangat berbeda dari pemahamanku selama ini, mahasiswa Farmasi yang banyak menghabiskan waktu malamnya di dalam kamar, membaca dan menulis. Mahasiswa Farmasi yang nyaris setiap malam sibuk menyelesaikan tugas kuliah dan jurnal praktikum. Maklum, saya pun adalah bekas mahasiswa Farmasi sejak setahun yang lalu.
Kulirik arloji di lengan kiriku, menunjukkan pukul 23.30 malam. Tiap detak jarum detiknya bergerak begitu cepat, secepat laju roda-roda kendaraan yang masih lalu lalang di hadapanku. Semenjak terlepas dari status pelajar, hidupku jadi lebih terasa bebas. Selain karena memang belum ingin memiliki suatu pekerjaan tetap, kebebasan yang aku rasakan kali ini ibarat sebuah roda yang berputar sendirian di tengah jalan tanpa harus melaju kencang atau lamban. Aku bisa memilih berputar ke depan atau ke belakang. Terlebih karena aku bebas menentukan arah tujuanku sendiri tanpa harus harus memikul beban tubuh kendaraan atau mengikuti arah setir pengendara yang mengangkang di atasku.
“Mau rokok, bang?” tawar si gadis keenam yang bertubuh kekar. Rokok merk Clas Mild, favoritku semasa aktif kuliah dulu. Mungkin dia menawarkanku rokok karena menyadari kalau mataku terus memperhatikan mereka. Atau mungkin itu isyarat ajakan untuk bergabung dalam permainan kartu remi mereka.
“Tidak ji…” tolakku sungkan. Sejak tamat kuliah, aku juga menamatkan konsumsi rokokku, karena aku juga masih salah satu dari orang sadar bahwa rokok itu tidak baik untuk kesehatan.
“Kenapa? Tidak merokok ki?” dia menantangku. Teman-temannya memandangku sejenak lalu kembali melanjutkan permainan mereka.
“Hehehe… Saya dari Farmasi jadi memang tidak merokok,” bohongku. Aku menekankan kata ‘farmasi’ agar semua teman-temannya mendengarkan pengakuanku. Berhasil, mata mereka kembali tertuju padaku. Canggung.
Si gadis keenam itu tersenyum mengejek lalu kembali fokus melanjutkan permainannya. Beberapa saat kemudian mereka mulai merapikan kartu remi mereka dan meninggalkan meja dengan enam cangkir ampas kopi.
Aku mencoba mengingat-ingat kapan aku pernah merasakan kebebasan seperti yang dirasakan oleh ke enam gadis mahasiswi jurusan Farmasi itu. Hidup mereka bebas seperti roda-roda mandiri tanpa merasa tertekan harus mengikuti aturan-aturan hidup mahasiswa Farmasi seperti yang ada di benakku. Mungkin pikiranku terlalu kolot dan sempit, kehidupan di luar sana tentu saja beragam. Tidak selalu harus sesuai dengan apa yang pernah aku rasakan selama menjadi mahasiswa Farmasi di kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin.
Semasa menjadi mahasiswa Farmasi, aku kekurangan waktu untuk bisa duduk santai di luar rumah sekedar menikmati membaca buku-buku filsafat sembari menyeruput kopi hitam pekat. Pekerjaanku setiap malam hanya berkutat di atas meja belajar kecil di dalam kamar, menulis berlembar-lembar jurnal dan membaca pelbagai buku literatur kefarmasian. Roda hidupku berjalan memikul lembar-lembar jurnla itu. Rodaku mengerem berhenti hanya di saat aku akan istrahat malam. Itu pun di atas pukul 01.00 dini hari.
Setiap hari aku harus ke kampus pukul 8 pagi untuk mengikuti kelas pagi. Kalaupun tidak ada kelas pagi, aku harus tetap datang pagi karena pasti ada jadwal praktikum pagi. Sembari menenteng sekotak alat-alat praktikum dan mengendong sebuah buku tebal berjudul ‘Farmakope’, aku berusaha tiba di depan ruang laboratorium sebelum asisten praktikum mengabsen. Belum lagi aku harus bersiap diuji materi tentang apa yang sudah aku tuliskan semalam di lembar jurnalku. Saat itu rodaku harus berjalan kencang, meski melewati tikungan dan tanjakan. Tanpa rem sama sekali.
Sama halnya dengan roda-roda yang dimiliki teman-temanku. Mereka berjalan lurus menuju arah yang sama, sejajar, bahkan memikul beban yang lebih berat lagi. Tidak jarang ada keluhan terlontar dari mulut mereka. Entah karena lelah roda hidup mereka disetir ke arah yang tidak selalu sesuai dengan yang ingin mereka tuju, atau memikul beban yang lebih berat dari kemampuan mereka. Jadi untuk meringankan beban, mereka menjelma jadi kendaraan beroda dua, tiga, empat, enam, delapan, bahkan sepuluh dengan arah tujuan yang sama.
Rodaku makin aus karena ditempa di atas aspal yang tidak mulus. Selain harus berputar di atas jalan rutinitas kuliah dan praktikum, juga harus melalui jalan yang bergelombang dan berbatu. Gelombang dan batu diciptakan oleh arus birokrasi kampus, utamanya di jurusan. Tendensi senioritas dan penetapan regulasi perkuliahan yang tidak jelas membuat rodaku berputar terantuk-antuk. Tidak jarang roda-roda kami jatuh namun kembali dipaksa bangun dan kembali berputar.
Seringnya dibenturkan dengan dengan regulasi kaum birokrat membuat roda-roda mahasiswa Farmasi berputar sempoyongan. Oleng. Tapi roda-roda kami tidak bisa memilih berbelok atau berhenti, karena yang menyetir mengatakan kalau itu demi mencapai tujuan yang baik. Padahal kami jelas tahu, itu adalah suatu bentuk kediktatoran yang dijejalkan dalam rantai roda-roda kami untuk membuatnya tetap berjalan menuju ke arah yang mereka inginkan.
Upaya peningkatan kualitas di ranah kurikulum pendidikan dikatakan sebagai perbaikan permukaan jalan bagi roda-roda yang berjalan di atasnya. Tapi realita yang terjadi justru masih menunjukkan roda-roda berputar dengan susah payah. Kami harus memaksa berputar roda-roda itu berputar dengan tenaga esktra. Sementara roda-roda yang harus berhenti untuk ditambal karena aus atau bocor, harus mengorek materi yang tidak sedikit agar bisa kembali berputar. Saat itu kami pun harus menerima dengan ikhlas istilah oleh yang menyetir roda kami, bahwa begitulah seharusnya roda-roda farmasi berputar.
Tidak jarang pula terjadi pergolakan roda di tengah perputarannya. Penyebabnya berupa perasaan jenuh, penat, bosan, atau terkekang. Namun hanya segelintir yang berusaha berbelok atau berhenti. Sayangnya itu tidak bisa lama bertahan, karena satu dua roda tidak akan mampu melawan arus puluhan roda yang berputar bersamanya. Sehingga mau tidak mau, rela tidak rela, roda itu terpaksa kembali berputar daripada harus digilas oleh roda-roda lain yang berpura-pura tidak peduli dan acuh.
Menjadi roda di jalan Farmasi harus memiliki karet ban luar yang tebal, terali yang kokoh, ban dalam anti bocor, dan patuh mengikuti arah tujuan si pengendara yang menentukan pola perputaran tiap roda. Bila ada roda yang tidak mampu menjadi seperti yang diinginkan pengendara yang menyetir, maka roda itu hanya akan ‘diasingkan’ atau dibuang.
Pola perputaran roda yang ditetapkan bagi kami adalah mampu berputar kapan dan di mana saja. Bagaimanapun bentuk dan jarak jalan yang harus dilalui, roda-roda mahasiswa Farmasi harus dalam kondisi prima. Alasannya, Farmasi adalah jalan yang paling unggul dari semua jalan yang ada, bahkan dibandingkan dengan jalan yang paling banyak dinginkan oleh sebagian besar roda-roda yang bersiap berputar, yaitu jalan Kedokteran. Makanya, roda-roda Farmasi harus diasah di atas berbagai kondisi jalan.
Parahnya lagi roda-roda kami juga digesek secara berlebih dengan alat-alat aneh yang membuat kami harus menjerit tertahan. Kegiatan-kegiatan yang secara formal tidak masuk dalam sistem Satuan Kredit Semester (SKS) seperti magang, Praktek Kerja Lapangan (PKL), atau pameran dan seminar kefarmasian, adalah contoh alat-alat yang menurutku aneh. Sebab bila roda-roda yang berusaha menghindar dari alat-alat itu harus bersiap untuk dibuang ke bagian gelombang arus perputaran roda-roda di belakang, yang berputar satu tahun setelah kami.
Lebih empat tahun rodaku berputar di atas jalan itu dan kini tampak terkikis dan lusuh. Rodaku tidak lagi mampu berjalan sekencang dulu. Mungkin karena aku dulu banyak melawan atau mencuri kesempatan berbelok dan berhenti di tengah jalan. Aku melihat masih banyak roda teman-temanku tetap berputar dengan kecepatan yang stagnan, nyaris seperti saat sama-sama berputar di atas jalan dasar Farmasi dulu. Bedanya mereka sekarang berada di atas jalan yang lebih tinggi dari jalan yang kini aku pijaki.
Aku hanya ingin menjadi roda yang berputar dengan bebas dan memilih jalan yang terbaik untukku. Karena untuk menjadi roda yang hebat bukan dengan melalui berbagai banyak jalan, melainkan berjalan di atas satu jalan yang jelas, tanpa paksaan, dan dibebani dengan hal-hal yang tidak penting untuk dibawa. Setiap roda bebas untuk berputar kapanpun dan di manapun, dengan kecepatan dan kondisi apapun, karena roda memang harus selalu berputar bukan berarti tidak bebas untuk berbelok atau berhenti pada saat yang diinginkan.
Kendaran-kendaraan itu ada yang berjalan ngebut, santai, ugal-ugalan, bahkan pelan ibarat kendaraan pengantin. Maklum sepasang pengendaranya juga sedang asyik meluapkan hasratnya lewat pelukan penuh meski diapit deru roda yang saling berkejaran. Roda-roda yang terus berjalan mengikuti arah tujuan si pengendara. Roda-roda yang kian ‘botak’. Roda-roda yang berdecit keras. Roda-roda yang patuh berputar. Roda-roda yang kotor karena debu jalan. Roda-roda hitam kendaraan bermotor.
Enam orang gadis dengan tiga sepeda motornya berhenti di hadapanku, sejenak menghalangi tontonanku menikmati setiap siluet kendaraan yang saling berkejaran di jalan. Enam gadis itu turun dari sepeda motornya dan mengambil enam buah kursi mengelilingi sebuah meja kecil di sampingku. Salah seorang dari mereka memesan enam cangkir kopi susu pada pemilik pedagang lapak yang bertengger di trotoar dan salah seorang lagi mengeluarkan sepasang kartu remi dari saku jaketnya. Lalu mulailah mereka bergantian bermain kartu remi sembari menunggu pesanan kopi susu mereka.
Penampilan mereka jauh dari penilaianku sebagai perempuan baik-baik; gadis yang pertama mengenakan baju polo merah berkerah dan celana jins krem. Rambutnya cepak dan beberapa biji jerawat menempel di pipinya. Gadis kedua mengenakan kaos putih yang ditutupi jaket hitam bertudung dan celana pendek. Rambutnya yang panjang diikat dengan pita biru. Dia duduk dengan mengangkat satu kakinya di atas kursi dan paling sering tertawa lebar. Gadis ketiga sedikit kalem, mengenakan switer biru gelap dan celana pendek. Rambutnya sebahu dan disembunyikan dalam tudung switernya. Gadis ketiga yang sama sekali tidak tampak seperti perempuan, dengan kaos oblong hitam dan celana jins biru pendek. Tubuhnya paling kecil lagi kurus. Gadis kelima berwajah oriental dan paling cantik di antara mereka. Mengenakan switer wol bergaris dan celana jins panjang. Rambutnya yang panjang bergelombang digerai bebas dan dia duduk tepat membelakangiku. Dan gadis keenam dengan tubuhnya yang kekar lebih memunculkan sifat maskulinnya. Lengan kaos oblong hitamnya dilipat dua kali ditambah tenaganya yang sesuai dengan bentuk fisiknya, memudahkannya melemparkan tiap kartu remi di tangannya dengan keras ke atas meja sedang di tangan kirinya menjepit sebatang rokok.
Sempat aku mencuri dengar sedikit dari pembicaraan mereka tentang tugas-tugas kuliah. Aku tahu mereka masih berstatus mahasiswa. Luar biasanya, ternyata mereka adalah mahasiswi jurusan Farmasi di salah satu perguruan tinggi swasta di kota Makassar. Aktivitas yang sangat berbeda dari pemahamanku selama ini, mahasiswa Farmasi yang banyak menghabiskan waktu malamnya di dalam kamar, membaca dan menulis. Mahasiswa Farmasi yang nyaris setiap malam sibuk menyelesaikan tugas kuliah dan jurnal praktikum. Maklum, saya pun adalah bekas mahasiswa Farmasi sejak setahun yang lalu.
Kulirik arloji di lengan kiriku, menunjukkan pukul 23.30 malam. Tiap detak jarum detiknya bergerak begitu cepat, secepat laju roda-roda kendaraan yang masih lalu lalang di hadapanku. Semenjak terlepas dari status pelajar, hidupku jadi lebih terasa bebas. Selain karena memang belum ingin memiliki suatu pekerjaan tetap, kebebasan yang aku rasakan kali ini ibarat sebuah roda yang berputar sendirian di tengah jalan tanpa harus melaju kencang atau lamban. Aku bisa memilih berputar ke depan atau ke belakang. Terlebih karena aku bebas menentukan arah tujuanku sendiri tanpa harus harus memikul beban tubuh kendaraan atau mengikuti arah setir pengendara yang mengangkang di atasku.
“Mau rokok, bang?” tawar si gadis keenam yang bertubuh kekar. Rokok merk Clas Mild, favoritku semasa aktif kuliah dulu. Mungkin dia menawarkanku rokok karena menyadari kalau mataku terus memperhatikan mereka. Atau mungkin itu isyarat ajakan untuk bergabung dalam permainan kartu remi mereka.
“Tidak ji…” tolakku sungkan. Sejak tamat kuliah, aku juga menamatkan konsumsi rokokku, karena aku juga masih salah satu dari orang sadar bahwa rokok itu tidak baik untuk kesehatan.
“Kenapa? Tidak merokok ki?” dia menantangku. Teman-temannya memandangku sejenak lalu kembali melanjutkan permainan mereka.
“Hehehe… Saya dari Farmasi jadi memang tidak merokok,” bohongku. Aku menekankan kata ‘farmasi’ agar semua teman-temannya mendengarkan pengakuanku. Berhasil, mata mereka kembali tertuju padaku. Canggung.
Si gadis keenam itu tersenyum mengejek lalu kembali fokus melanjutkan permainannya. Beberapa saat kemudian mereka mulai merapikan kartu remi mereka dan meninggalkan meja dengan enam cangkir ampas kopi.
Aku mencoba mengingat-ingat kapan aku pernah merasakan kebebasan seperti yang dirasakan oleh ke enam gadis mahasiswi jurusan Farmasi itu. Hidup mereka bebas seperti roda-roda mandiri tanpa merasa tertekan harus mengikuti aturan-aturan hidup mahasiswa Farmasi seperti yang ada di benakku. Mungkin pikiranku terlalu kolot dan sempit, kehidupan di luar sana tentu saja beragam. Tidak selalu harus sesuai dengan apa yang pernah aku rasakan selama menjadi mahasiswa Farmasi di kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin.
Semasa menjadi mahasiswa Farmasi, aku kekurangan waktu untuk bisa duduk santai di luar rumah sekedar menikmati membaca buku-buku filsafat sembari menyeruput kopi hitam pekat. Pekerjaanku setiap malam hanya berkutat di atas meja belajar kecil di dalam kamar, menulis berlembar-lembar jurnal dan membaca pelbagai buku literatur kefarmasian. Roda hidupku berjalan memikul lembar-lembar jurnla itu. Rodaku mengerem berhenti hanya di saat aku akan istrahat malam. Itu pun di atas pukul 01.00 dini hari.
Setiap hari aku harus ke kampus pukul 8 pagi untuk mengikuti kelas pagi. Kalaupun tidak ada kelas pagi, aku harus tetap datang pagi karena pasti ada jadwal praktikum pagi. Sembari menenteng sekotak alat-alat praktikum dan mengendong sebuah buku tebal berjudul ‘Farmakope’, aku berusaha tiba di depan ruang laboratorium sebelum asisten praktikum mengabsen. Belum lagi aku harus bersiap diuji materi tentang apa yang sudah aku tuliskan semalam di lembar jurnalku. Saat itu rodaku harus berjalan kencang, meski melewati tikungan dan tanjakan. Tanpa rem sama sekali.
Sama halnya dengan roda-roda yang dimiliki teman-temanku. Mereka berjalan lurus menuju arah yang sama, sejajar, bahkan memikul beban yang lebih berat lagi. Tidak jarang ada keluhan terlontar dari mulut mereka. Entah karena lelah roda hidup mereka disetir ke arah yang tidak selalu sesuai dengan yang ingin mereka tuju, atau memikul beban yang lebih berat dari kemampuan mereka. Jadi untuk meringankan beban, mereka menjelma jadi kendaraan beroda dua, tiga, empat, enam, delapan, bahkan sepuluh dengan arah tujuan yang sama.
Rodaku makin aus karena ditempa di atas aspal yang tidak mulus. Selain harus berputar di atas jalan rutinitas kuliah dan praktikum, juga harus melalui jalan yang bergelombang dan berbatu. Gelombang dan batu diciptakan oleh arus birokrasi kampus, utamanya di jurusan. Tendensi senioritas dan penetapan regulasi perkuliahan yang tidak jelas membuat rodaku berputar terantuk-antuk. Tidak jarang roda-roda kami jatuh namun kembali dipaksa bangun dan kembali berputar.
Seringnya dibenturkan dengan dengan regulasi kaum birokrat membuat roda-roda mahasiswa Farmasi berputar sempoyongan. Oleng. Tapi roda-roda kami tidak bisa memilih berbelok atau berhenti, karena yang menyetir mengatakan kalau itu demi mencapai tujuan yang baik. Padahal kami jelas tahu, itu adalah suatu bentuk kediktatoran yang dijejalkan dalam rantai roda-roda kami untuk membuatnya tetap berjalan menuju ke arah yang mereka inginkan.
Upaya peningkatan kualitas di ranah kurikulum pendidikan dikatakan sebagai perbaikan permukaan jalan bagi roda-roda yang berjalan di atasnya. Tapi realita yang terjadi justru masih menunjukkan roda-roda berputar dengan susah payah. Kami harus memaksa berputar roda-roda itu berputar dengan tenaga esktra. Sementara roda-roda yang harus berhenti untuk ditambal karena aus atau bocor, harus mengorek materi yang tidak sedikit agar bisa kembali berputar. Saat itu kami pun harus menerima dengan ikhlas istilah oleh yang menyetir roda kami, bahwa begitulah seharusnya roda-roda farmasi berputar.
Tidak jarang pula terjadi pergolakan roda di tengah perputarannya. Penyebabnya berupa perasaan jenuh, penat, bosan, atau terkekang. Namun hanya segelintir yang berusaha berbelok atau berhenti. Sayangnya itu tidak bisa lama bertahan, karena satu dua roda tidak akan mampu melawan arus puluhan roda yang berputar bersamanya. Sehingga mau tidak mau, rela tidak rela, roda itu terpaksa kembali berputar daripada harus digilas oleh roda-roda lain yang berpura-pura tidak peduli dan acuh.
Menjadi roda di jalan Farmasi harus memiliki karet ban luar yang tebal, terali yang kokoh, ban dalam anti bocor, dan patuh mengikuti arah tujuan si pengendara yang menentukan pola perputaran tiap roda. Bila ada roda yang tidak mampu menjadi seperti yang diinginkan pengendara yang menyetir, maka roda itu hanya akan ‘diasingkan’ atau dibuang.
Pola perputaran roda yang ditetapkan bagi kami adalah mampu berputar kapan dan di mana saja. Bagaimanapun bentuk dan jarak jalan yang harus dilalui, roda-roda mahasiswa Farmasi harus dalam kondisi prima. Alasannya, Farmasi adalah jalan yang paling unggul dari semua jalan yang ada, bahkan dibandingkan dengan jalan yang paling banyak dinginkan oleh sebagian besar roda-roda yang bersiap berputar, yaitu jalan Kedokteran. Makanya, roda-roda Farmasi harus diasah di atas berbagai kondisi jalan.
Parahnya lagi roda-roda kami juga digesek secara berlebih dengan alat-alat aneh yang membuat kami harus menjerit tertahan. Kegiatan-kegiatan yang secara formal tidak masuk dalam sistem Satuan Kredit Semester (SKS) seperti magang, Praktek Kerja Lapangan (PKL), atau pameran dan seminar kefarmasian, adalah contoh alat-alat yang menurutku aneh. Sebab bila roda-roda yang berusaha menghindar dari alat-alat itu harus bersiap untuk dibuang ke bagian gelombang arus perputaran roda-roda di belakang, yang berputar satu tahun setelah kami.
Lebih empat tahun rodaku berputar di atas jalan itu dan kini tampak terkikis dan lusuh. Rodaku tidak lagi mampu berjalan sekencang dulu. Mungkin karena aku dulu banyak melawan atau mencuri kesempatan berbelok dan berhenti di tengah jalan. Aku melihat masih banyak roda teman-temanku tetap berputar dengan kecepatan yang stagnan, nyaris seperti saat sama-sama berputar di atas jalan dasar Farmasi dulu. Bedanya mereka sekarang berada di atas jalan yang lebih tinggi dari jalan yang kini aku pijaki.
Aku hanya ingin menjadi roda yang berputar dengan bebas dan memilih jalan yang terbaik untukku. Karena untuk menjadi roda yang hebat bukan dengan melalui berbagai banyak jalan, melainkan berjalan di atas satu jalan yang jelas, tanpa paksaan, dan dibebani dengan hal-hal yang tidak penting untuk dibawa. Setiap roda bebas untuk berputar kapanpun dan di manapun, dengan kecepatan dan kondisi apapun, karena roda memang harus selalu berputar bukan berarti tidak bebas untuk berbelok atau berhenti pada saat yang diinginkan.
Oleh: Ahmad Muh. Qomar
*Penulis adalah mahasiswa Farmasi, fakultas Ilmu Kesehatan angkatan 2009
Gambar: antumfiqolbi.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar