Oleh: Rudini
Radyth La Rudiny |
Perjalanan kehidupan bangsa Indonesia tidak bisa terlepas dari peran pemuda dan mahasiswa. Hari kebangkitan Nasional (Harkitnas) yang diperingati setiap tanggal 20 Mei merupakan penghargaan sekaligus prestasi terhebat yang pernah diraih pemuda dan mahasiswa bangsa. Pada hari itu, tepatnya 20 mei 1908 lahir organisasi Budi Utomo yang dianggap sebagai organisasi modern pertama di Indonesia. Organisasi inipun lahir dengan AD/ART-nya berkat kesadaran dan perjuangan kolektif dari beberapa Mahasiswa Stovia. Dan pada akhirnya, Budi Utomo mampu menginspirasi Pemuda untuk meraih kemerdekaan bangsa dengan mengusung slogan persatuan nasional.
Menggali makna Harkitnas dalam sudut kefarmasian rasanya perlu untuk ditelaah. Meskipun Sejarah Farmasi yang memisahkan diri dari dunia kedokteraan telah terjadi jauh sebelumnya. Farmasi yang lahir sebagai disiplin ilmu baru adalah terobosan untuk menghubungkan falsafah ilmu alam dan ilmu social. Farmasipun diamanahi untuk memegang penuh seluk-beluk dunia “keobatan” dalam upaya memenuhi kesehatan manusia.
Melihat keadaan farmasi sekarang, rasanya masih jauh dari harapan. Paham Farmasi yang telah tertanam seiring peradaban manusia seakan belum menemukan jiwanya. lihatlah sejenak dinamika yang terjadi dalam dunia Farmasi kita. Ilmu kedokteran yang mengutus Farmasi untuk menggeluti perkara obat belum sepenuhnya tertunaikan. Belum lagi keprofesionalan Farmasis yang masih menyisakan pertanyaan. System pendidikan yang monoton pada keegoan ilmu. Diperparah dengan hadirnya peraturan baru yang mengingkari peran farmasi dari dunia kesehatan. Ini hanya sebagian contoh yang akan menyeret farmasi dalam ketidakpastian diri.
Ditengah gemuruh badai permasalahan diatas, Farmasi seakan kehilangan ideologi . Para farmasis seakan memilih untuk menjadi apatis. Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) sebagai wadah farmasis mengurung diri dalam ruang-ruang regulasi semu. Asosiasi Perguruan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI) sibuk dengan kurikulumnya. Jika semua sudah memilih jalan masing-masing, pada siapa lagi farmasi harus bersandar?
Mungkin jawabanya adalah Pada Mahasiswa. Mahasiswa sebagai generasi penerus harus berani tampil dengan pemikiran baru dibalik jeruji keilmuan farmasi. Mahasiswa harus bisa menjadi pribadi-pribadi handal didalam sangkar-sangkar kampus. Mahasiswa tidak boleh terkukung dalam ruang laboratorium, serta mulai mencatatkan sejarah perubahan dibalik lembaran jurnal hasil praktikum. Ikatan Senat Mahasiswa Farmasi (Ismafarsi) harus bisa menggalang persatuan yang kuat pada mahasiswa Farmasi, bukan hanya menjadi ajang pertarungan popularitas kampus. Senat-senat mahasiswa kampus seharusnya mengutus kader yang mengaspirasikan kepentingan farmasi, bukan untuk lembaganya sendiri.
Untuk itu, mahasiswa perlu memahami kembali ideologi Farmasi agar tidak terseret dalam percaturan paham-paham semu. Dan menentukan arah pergerakan membawa ideologi tersebut sehingga tidak terjebak dalam perjudian solusi praktis, tapi lebih pada solusi konkret. Dengan demikian mahasiswa bisa mempelopori babak baru farmasi. dan itu akan menjadi era kebangkitan farmasi.
Menggali makna Harkitnas dalam sudut kefarmasian rasanya perlu untuk ditelaah. Meskipun Sejarah Farmasi yang memisahkan diri dari dunia kedokteraan telah terjadi jauh sebelumnya. Farmasi yang lahir sebagai disiplin ilmu baru adalah terobosan untuk menghubungkan falsafah ilmu alam dan ilmu social. Farmasipun diamanahi untuk memegang penuh seluk-beluk dunia “keobatan” dalam upaya memenuhi kesehatan manusia.
Melihat keadaan farmasi sekarang, rasanya masih jauh dari harapan. Paham Farmasi yang telah tertanam seiring peradaban manusia seakan belum menemukan jiwanya. lihatlah sejenak dinamika yang terjadi dalam dunia Farmasi kita. Ilmu kedokteran yang mengutus Farmasi untuk menggeluti perkara obat belum sepenuhnya tertunaikan. Belum lagi keprofesionalan Farmasis yang masih menyisakan pertanyaan. System pendidikan yang monoton pada keegoan ilmu. Diperparah dengan hadirnya peraturan baru yang mengingkari peran farmasi dari dunia kesehatan. Ini hanya sebagian contoh yang akan menyeret farmasi dalam ketidakpastian diri.
Ditengah gemuruh badai permasalahan diatas, Farmasi seakan kehilangan ideologi . Para farmasis seakan memilih untuk menjadi apatis. Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) sebagai wadah farmasis mengurung diri dalam ruang-ruang regulasi semu. Asosiasi Perguruan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI) sibuk dengan kurikulumnya. Jika semua sudah memilih jalan masing-masing, pada siapa lagi farmasi harus bersandar?
Mungkin jawabanya adalah Pada Mahasiswa. Mahasiswa sebagai generasi penerus harus berani tampil dengan pemikiran baru dibalik jeruji keilmuan farmasi. Mahasiswa harus bisa menjadi pribadi-pribadi handal didalam sangkar-sangkar kampus. Mahasiswa tidak boleh terkukung dalam ruang laboratorium, serta mulai mencatatkan sejarah perubahan dibalik lembaran jurnal hasil praktikum. Ikatan Senat Mahasiswa Farmasi (Ismafarsi) harus bisa menggalang persatuan yang kuat pada mahasiswa Farmasi, bukan hanya menjadi ajang pertarungan popularitas kampus. Senat-senat mahasiswa kampus seharusnya mengutus kader yang mengaspirasikan kepentingan farmasi, bukan untuk lembaganya sendiri.
Untuk itu, mahasiswa perlu memahami kembali ideologi Farmasi agar tidak terseret dalam percaturan paham-paham semu. Dan menentukan arah pergerakan membawa ideologi tersebut sehingga tidak terjebak dalam perjudian solusi praktis, tapi lebih pada solusi konkret. Dengan demikian mahasiswa bisa mempelopori babak baru farmasi. dan itu akan menjadi era kebangkitan farmasi.
Selamat Hari Kebangkitan Nasional!
*Penulis adalah mahasiswa Farmasi, fakultas Ilmu Kesehatan, angkatan 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar