Kamis, 12 November 2015

Opini: Berontak dan Bentrok

 Oleh: Syarif Kate*

Ada apa di kampus peradaban? Saya kembali terngiang sebuah opini pertama yang dimuat di salah satu koran di daerah ini. Tulisan tersebut sedikit menyorot pemilihan rektor beberapa bulan lalu dan segala problematika eks IAIN Alauddin.

Mahasiswa UIN Alauddin tentunya mengingkan perubahan dan kemajuan. Dan semoga goresan ini memberikan sedikit renungan dan pencerahan. Sebagai  bagian dari peradaban kampus, tentunya memiliki peran untuk berkontribusi. Bahasa trendnya sih kalau bukan kita siapa lagi dan kalau bukan sekarang kapan lagi.

Saya hanyalah mahasiswa biasa dan bolehlah dipandang sebelah mata. Tidak ada prestasi yang membanggakan dan mencolok selama di kampus.

Selama mengijakkan kaki di kampus ini begitu banyak kenangan. Disinilah saya dan ribuan yang lainnya ditakdirkan untuk menimba ilmu sehingga apapun kondisi kampus mesti diterima konsekuensinya. Pada saat status junior saya dibotaki ketika OPAK, ingatan itu masih jernih ketika senior mengguduli maba dengan gunting tumpulnya. Memakai seragam selama satu semester seperti anak sekolahan dengan dalih perbedaan strata antara senior dengan junior, padahal gelarnya sama-sama mahasiswa. Dan tradisi itupun masih terawat sampai detik ini. Era dimana semua orang bebas berekpresi, punya style sendiri, tidak ada intimidasi. Semestinya tradisi seperti ini tidak ditemukan lagi di kampus yang berlandaskan nilai keislaman dan keilmuan.

Senior tidak pernah salah dan juniorlah yang dikorbankan serta semua kembali ke pasal satu. Maba pun diajari solidaritas untuk tetap membela yang salah demi kebenaran. Akan tetapi, solidaritas tersebut hanya omongan doang sebab tidak ada hitam diatas putih. Ketika sebagian melejit menyandang toga sementara yang lainnya tertatih demi gelar sarjana. Lagi-lagi Junior korban retorika senior (bahasa kerennya sih KRS) sehingga menghampiri semester 14 krsnya pun pas-pasan. Dan hal seperti inilah pemicu bentrok antar fakultas ketika ada yang satu orang dipukul maka atas nama solidaritas maka yang lainnya turun tangan.

Tidak hanya mendapat intimidasi senior, mahasiswa semester awal dipusingkan oleh asisten yang 'sok pintar dan banyak maunya'. Ini realitas dan kata sebagian mahasiswa ketika laporannya dirobek-robek, tidak dizinkan masuk laboratorium ketika tidak mengerjakan te-pe. Untungnya komputer jadul tag-tag-tag yang membuat ujung jempol bengkak tidak dihidupkan kembali. Setiap mahasiswa patut mendapat apresiasi. Ketika mereka telah begadang mengerjakan tugas, maka hasil kerjanya tidak boleh diinjak, dirobek apalagi dibakar. Dan kala ada niat praktek dilab, maka mestinya mereka persilahkan masuk. Kadangkala prosedur yang kaku mesti dilanggar demi memanusiakan manusia. Dan masih banyak permasalahan antara senioritas dan junioritas yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Birokrasi Kampus

"Setiap mahasiswa berhak mendapatkan pendidikan, pengajaran, pelayanan yang terbaik dan sama di depan hukum". Bunyi pasal dan suara mahasiswa yang berontak tapi tidak suka bentrok. Setiap mahasiswa memiliki hak dan kewajiban di kampus dan haruslah keduanya berjalan beriringan.

Setelah bosan berstatus mahasiswa, saya mengamati dan sebagian dikeluhkan mahasiswa. Mahasiswa yang ada keluarganya di kampus sangat lancar urusan akademiknya. Hal ini jauh berbeda dengan 'mahasiswa biasa', berkas yang sehari semestinya selesai kadanglala mesti menunggu seminggu bahkan sebulan. Ironisnya banyak mahasiswa takut mengijakkan kaki di ruangan akademik karena katanya dimana-mana ada wajah yang tidak bersahabat. Andaikan pelayan akademik sama halnya dengan bank atau hotel maka mahasiswa akan bangga dengan kampusnya. Desus yang beredar juga bahwa mahasiswa yang ada dekkengnya dimudahkan jatah mendapat Beasiswa.

Refleksi Peradaban

Peradaban yang didengungkan selama ini mesti direformasi oleh rektor terpilih. Karena program yang telah berjalan belum memberikan efek yang nyata bahkan bisa dikatakan gagal. Cerminan maraknya bentrokan belakangan ini mengindikasikan adanya problem di kampus yang kita cintai.

Harapan saya dan semua Mahasiswa UIN Alauddin bahwa kampus adalah rumah kedua. Rektor, dekan, dosen, pegawai, dan satpam sebagai perwakilan orang tua selama di kampus. Orang tua mahasiswa tentunya mengharapkan bimbingan terbaik dari kampus agar anaknya kelak sukses dunia bahkan akhirat.

Rektor sebagai leader tertinggi tidak boleh hanya duduk di kursi empuknya. Pemimpin mestinya turun menyapa dan memantau aktivitas mahasiswa di setiap fakultas. Dekan memperhatikan kelebihan dan kekurangan setiap jurusan. Dosen mendengarkan dan mengetahui sedikit kendala yang dihadapi mahasiswa dalam perkuliahan serta memantau mahasiswa bimbinganya agar cepat selesai.

Para pegawai memberikan pelayanan yang merata dan terbaik. Satpam mengayomi, memberikan rasa aman terhadap jiwa dan kendaraan (mengantisipasi pencurian motor dan barang berharga lainnya) bukannya bertindak sebagai musuh bagi mahasiswa. Tentunya selaku mahasiswa mesti menghormati dan menghargai orang tuanya di kampus serta saling menebar kasih sayang antar sesama mahasiswa. Ketika ada hal yang tidak sesuai dengan kenyataan yang dilakukan pihak kampus, maka kritisilah dengan arief dan bijaksana. Barangkali lewat curahan seperti ini pihak rektor dan jajaran terbawah terketuk hati nuraninya untuk mengambil kebijakan yang pro kepada mahasiswa dan kemajukan UIN tentunya.

Jika jiwa berontak Mahasiswa diredam dengan pondasi persaudaraan, kasih sayang, pengajaran berkualitas, pelayanan akademik yang merata, maka bentrokan tidak akan terulang kembali. Semoga saja!

Suara Mahasiswa, suara tanpa Intimidasi. Jangan pernah berhenti berjuang demi kehidupan yang lebih baik.

Hidup Mahasiswa!

*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi UIN Alauddin Makassar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar