Minggu, 31 Januari 2016

Cerpen "Karena Cinta Harus Selaras Dengan Cita-Cita" oleh Nur Isna

Sumber: ngawur-awuran.pun.bz
Namaku Mawar Kurnia Putri, mahasiswi jurusan Sastra Inggris di salah satu Universitas negeri di Bandung.  Aku bukan orang kaya, ayahku telah lama meninggal sejak aku masih duduk di bangku kelas 3 SD. Sementara ibuku bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah Pak Rahman salah seorang pengusaha terkenal di kota ini. Aku adalah putri tunggal di keluargaku. Bersyukur karena aku menerima beasiswa, sehingga biaya kuliahku tidak lagi menjadi beban untuk ibu.

Hari minggu lazimnya waktu untuk beristirahat dan liburan oleh kebanyakan orang, tetapi berbeda denganku. Aku justru memanfaatkannya untuk membantu ibu bekerja. Sudah 8 tahun kami tinggal dirumah pak Rahman dan ibu Mega sebagai pembantu. Mereka memiliki 2 orang anak, yang sulung bernama Ardi dan yang bungsu namanya Mia. Mia adalah teman sekelasku, kami cukup akrab dan dia orangnya baik.

Seperti remaja lainnya, aku pun punya mimpi. Kalian boleh menertawai mimpiku karena ini terdengar mustahil. Tapi, aku sungguh ingin sekali melanjutkan S2 ke luar negeri. Sekarang aku sudah semester 7 dan sebentar lagi akan meninggalkan status sebagai mahasiswi. Ada ayat yang berbunyi "Bukankah nasib suatu kaum tidak akan berubah kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya?" Aku sangat percaya itu.

Sejak semester 1 aku selalu belajar dengan giat dan mempersiapkan diri agar mendapat beasiswa itu. Selain itu, aku juga punya pekerjaan sampingan yaitu jadi guru Privat, lumayan gajinya bisa buat makan. Karena aku bukan orang kaya, maka aku tidak boleh mengeluh. Hal itu selalu kutanamkan dalam diriku setiap kali semangatku menurun.

“Mawar kamu nggak ke kampus?” tanya Pak Rahman.
“Libur pak.” Jawabku.
“Terus Mia kemana?”
“Mia? Mia tadi itu … em ada kegiatan pak.”
“Terus kamu kok enggak ikut?” tanyanya curiga.
“Aku lagi tidak enak badan pak.” jawabku lagi.
“Oh ya sudah, kamu istirahat saja.”

Aku lupa bahwa tadi Mia sempat bilang kalau hari ini dia mau jalan sama Doni pacarnya. Mia dan Doni baru sebulan jadian, aku tidak terlalu suka dengan Doni. Sejak Mia pacaran dengannya, Mia selalu saja keluar dengan cara berbohong. Doni pun selalu memanfaatkan Mia, minta ditraktir.
"Kenapa juga Mia betah pacaran sama dia," kataku dalam hati.

Begitulah, Mia anak orang kaya dan juga cantik jadi wajar saja jika banyak laki-laki mau jadi pacarnya. Sementara aku? Aku belum pernah pacaran sama sekali. Bukannya menutup hati, tapi aku benar-benar tidak ada waktu untuk pacaran. Hidupku sudah susah, aku tidak ingin buang-buang waktu hanya untuk pacaran.

Jarum jam menunjuk pukul 10.00 pagi, sepertinya aku datang terlalu cepat ke kampus karena jadwal kuliah hari ini baru di mulai pukul 11.00. Aku tidak berangkat bareng Mia karena dia di jemput Doni. Aku memilih duduk di bangku paling pojok dekat  jendela. Lalu ku keluarkan buku test toefl yang ada di tasku dan aku mulai mengerjakannya. Hal ini sudah kulakukan selama 2 tahun terakhir.
Suara langkah kaki membuyarkan konsentrasiku. Aku tidak menoleh sedikitpun tapi ku tahu bahwa suara itu semakin dekat dan seseorang sedang berjalan ke arahku.

“Kamu Mawar?” tanyanya.
“Iya.” Jawabku singkat tanpa memalingkan wajahku ke arahnya.
“Aku suka sama kamu.”
“HAH?! Kamu …”

Aku yang terkejut dengan pernyataan itu, aku menatapnya heran. Dia ternyata Adit, seseorang yang tidak pernah sama sekali ngobrol denganku. Meskipun kami berada di jurusan  yang sama tapi aku dan dia beda kelas.

Adit seorang ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan aktif dilembaga kampus. Selama ini dia terkenal cuek dan disukai banyak perempuan di kampus. Dia bukan hanya tampan dan pintar, tapi dia juga anak pengusaha terkaya di Bandung. Semua informasi itu kudapat dari Mia yang selama ini memang menyukai Adit.
"Maaf aku tidak suka diajak bercanda.” aku melanjutkan ucapanku.
“Aku juga tidak suka bercanda. Aku serius.” timpalnya.

Perkataannya hanya ku balas dengan senyuman, sebab aku pun tidak tahu mau bilang apa. Ini pertama kalinya ada orang yang menyatakan perasaannya kepadaku.
“Tenang saja, aku tidak akan mengajakmu pacaran kok. Kamu cukup tahu saja bahwa aku menyukaimu, aku akan melindungimu dan menjagamu. Itu saja,” jelasnya terus terang.
“Lalu?” tanyaku heran.
“Lalu kita sama-sama berjuang biar bisa kuliah S2 di luar negeri,"

Apa katanya? Berjuang bersama agar bisa keluar negeri? Dia kan orang kaya, tidak perlu berjuang keras sepertiku.
“Sekarang ayo ke perpus," ajaknya.

Aku dan Adit berjalan di koridor, jelas saja puluhan pasang mata menatap kami heran.
Sampai di rumah, aku langsung merebahkan tubuhku di kasur. Masih dengan tanda tanya besar dalam benakku. Apa yang Adit suka dariku. Tapi aku tidak percaya dengan omongannya tadi. Kebanyakan omongan laki-laki gombal.

Sejak hari itu, hatiku mulai terasa aneh. Aku suka cara Adit yang tidak bertele-tele. Fikiranku kembali melayang mengingat tadi sepulang dari kampus ia mengajakku ke toko buku. Aku hanya menyebut nama penulis buku favoritku dan dia langsung membeli 20 buku yang ditulis oleh penulis itu. Ku fikir dia ingin membacanya, ternyata itu hadiah perkenalan kami katanya. Jelas saja ku tolak, aku tidak suka di belikan apapun oleh oranglain.

"Mawar buka pintunya," teriak Mia yang membuyarkan lamunanku.
Aku segera bangkit dan membuka pintu kamar.
“Kamu kenapa? Kok matamu bengkak? Kamu habis nangis yah,” tanyaku.
“Aku putus sama Doni, dia selingkuh," jawabnya terseduh.

Tangisannya kembali pecah, bulir-bulir air matanya kembali mengalir deras.
Sudah ku duga, Doni memang bukan orang yang tepat untuk Mia. Aku pun mendengarkan curhatan Mia dan sesekali ku balas dengan anggukan. Ia bercerita panjang sekali hingga akhirnya ia mengatakan bahwa hanya Adit cowok yang benar-benar bisa membuatnya bahagia karena Adit tidak pernah tergoda dengan cewek yang memang dia tidak suka. Berbeda dengan Doni yang matre. Sudah kuduga jika Mia menyukai Adit.

“Aku sekarang bertekad harus bisa pacaran sama Adit,” kata Mia sambil menghapus air matanya.
“Adit?”
“Iya, kamu tahu kan? Sejak semester 1 aku menyukainya, hanya saja susah untuk mendapatkannya. Entahlah dia benar-benar bisa suka sama cewek atau tidak haha," Ia terlawa kecil, air matanya mulai reda.

Adit itu sekarang sedang menyukaiku. Andai bisa ku katakan seperti itu pada Mia. Setelah puas bercerita akhirnya Mia pun tertidur pulas di kamarku. Esoknya kami memutuskan untuk berangkat bareng ke kampus. Dan ternyata Adit sudah ada di depan rumah menungguku.

“Mawar," teriak Adit sambil melambaikan tangannya.
Aku hanya membalasnya dengan senyuman.
“Kok kamu akrab sama Adit?” tanya Mia heran.
“anu … itu … begini,"  jawabku gugup.
“Aku asisten pribadi Mawar sekaligus bodyguardnya,” adit langsung menjawab pertanyaan Mia.
“Maksudnya kalian pacaran?” tanya Mia penasaran.
“Tidak, tapi aku menyukai Mawar," jawab Adit.
“Kok kamu tidak pernah cerita sih war?” nada suara Mia mulai meninggi.
“Aku …” 
“Ah sudahlah. Aku benci sama kamu,” Mia berlari masuk kembali ke dalam rumah. Aku pun segera berlari menyusulnya dan meninggalkan Adit. Ku ketuk pintu kamar Mia tapi ia benar-benar sangat marah.

“Mia, dengerin penjelasan aku dulu. Kemarin Adit memang bilang suka ke aku tapi aku tidak menanggapinya kok. Aku kan tahu kamu suka sama dia. Aku lebih sayang sama kamu Mia daripada Adit. Aku sudah menganggap kamu saudaraku. Tolong jangan marah Mia," Tangisku pun pecah. 
Setelah kepergian ayah, aku berjanji tidak akan meneteskan air mata lagi, dan hari ini aku melanggar janji itu. Akhirnya Mia membuka pintu kamar, dan memelukku erat.

“Maaf Mawar, aku egois,"
“Jangan marah sama aku Mia,” kataku.
“Iya war, aku harusnya senang kalau seorang Adit sang idola wanita di kampus suka sama kamu. Aku harusnya ikut bahagia bukannya marah. Maafin aku yah,” Mia melepaskan pelukannya dan menarik tanganku. Kami berjalan keluar rumah dan kembali menemui Adit.

“ Adit. Maafin aku yah,” Mia memulai obrolan.
“Tidak apa-apa Mia. Ayo berangkat bareng naik mobil aku,” jawab Adit.

Kami pun berangkat ke kampus bertiga. Setelah kejadian hari ini, kami bertiga semakin akrab. Adit ternyata tidak secuek yang aku dan Mia duga. Dia orangnya asyik, hanya orang yang tidak kenal dekat dengannyalah yang mengatakan ia cuek. Setiap hari kami berdiskusi, belajar bareng, ke perpus, toko buku, dan masih banyak lagi kegiatan seru setiap harinya. Karena kesibukan itulah Mia tidak lagi gonta-ganti pacar. Hingga akhirnya kami di wisuda bersamaan. Aku dapat beasiswa lanjut S2 ke London, begitupun dengan Adit. Sementara Mia tetap sekampus denganku hanya saja ia menggunakan uang papanya. Yang jelasnya kami bertiga tetap disatukan itu sudah jadi kebahagiaan yang luar biasa bagiku.


*Penulis adalah salah satu mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum semester 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar