Ilustrasi | Simomut |
Aku menuliskannya dalam diam. Sebuah penyataan tentang harapan yang dulu pernah kau berikan kepadaku. Saat itu kita berada di Taman Kota, dekat pagar besar yang penuh dengan gembok, simbol ikatan cinta katanya. Kau masih berdiri disana sembari menaruh dua gembok beda ukuran dengan warna mencolok, orange. Kau juga menaruh secarik kertas dalam kotak surat.
Kau menawarkan pengakuan akan sebuah janji, sangat masuk akal dan manusiawi. Tapi lagi-lagi seperti kisah kebanyakan orang, mungkin kau juga layak masuk dalam daftar PEMBERI HARAPAN PALSU.
Kau tahu, awalnya sangat sulit untuk melepas bayang-bayang tentangmu. Terlebih kenangan, bak film dokumenter. Sesekali aku pergi ke tempat yang jauh dari keramaian, mereview kembali, waktuku banyak terbuang sia-sia pada orang seperti dirimu. Bahkan di ruang yang pengap sekalipun, potretmu menyusup. Arghh, sungguh menyebalkan.
Oh tidak, mataku masih sembab. Padahal sudah setahun aku tak lagi bersamamu. Ini cinta atau pembodohan. Entahlah. Yang pasti kau selalu menjadi objek yang menguras air mataku. Sangat konyol bukan. Tapi tidak, ini yang terakhir untukmu.
***
Hatiku terlanjur remuk. Mulutku pun tak berhenti mengutuk. Hingga dirimu hadir dalam mimpi buruk dalam setiap tidurku. Kau terlalu sederhana menyakitiku secara sempurna, karena semua sedih yang tercipta adalah pedih yang tak pernah kau kira. Kini tumbuh jadi bara api yang senantiasa menyala dan panas.
Bagaimana mungkin aku bisa mengampuni? Seperti kau perlu mengajarkanku seni berdamai dengan sakit hati. Mungkin suatu hari, mulutku akan mengehentikan mantra serta kutukan yang berujung derita. Hingga kelak, aku menyadari bahwa setiap kita punya sisi gelap.
***
Tapi kini, aku cukup berpuas lega. Tertawa lepas tanpa beban apapun darimu. Lalu mengirimkan kembali pesan tentang luka, sebuah foto berdua, penuh mesra. Bertuliskan, Heart ro hurt, hanya sampah yang di buang tanpa perasaan.
Untuk sebening prasangka, sehangat semangat sekokoh janji, seindah senyum pengertian. Antara khilaf, cinta dan benci.
Kau menawarkan pengakuan akan sebuah janji, sangat masuk akal dan manusiawi. Tapi lagi-lagi seperti kisah kebanyakan orang, mungkin kau juga layak masuk dalam daftar PEMBERI HARAPAN PALSU.
Kau tahu, awalnya sangat sulit untuk melepas bayang-bayang tentangmu. Terlebih kenangan, bak film dokumenter. Sesekali aku pergi ke tempat yang jauh dari keramaian, mereview kembali, waktuku banyak terbuang sia-sia pada orang seperti dirimu. Bahkan di ruang yang pengap sekalipun, potretmu menyusup. Arghh, sungguh menyebalkan.
Oh tidak, mataku masih sembab. Padahal sudah setahun aku tak lagi bersamamu. Ini cinta atau pembodohan. Entahlah. Yang pasti kau selalu menjadi objek yang menguras air mataku. Sangat konyol bukan. Tapi tidak, ini yang terakhir untukmu.
***
Hatiku terlanjur remuk. Mulutku pun tak berhenti mengutuk. Hingga dirimu hadir dalam mimpi buruk dalam setiap tidurku. Kau terlalu sederhana menyakitiku secara sempurna, karena semua sedih yang tercipta adalah pedih yang tak pernah kau kira. Kini tumbuh jadi bara api yang senantiasa menyala dan panas.
Bagaimana mungkin aku bisa mengampuni? Seperti kau perlu mengajarkanku seni berdamai dengan sakit hati. Mungkin suatu hari, mulutku akan mengehentikan mantra serta kutukan yang berujung derita. Hingga kelak, aku menyadari bahwa setiap kita punya sisi gelap.
***
Tapi kini, aku cukup berpuas lega. Tertawa lepas tanpa beban apapun darimu. Lalu mengirimkan kembali pesan tentang luka, sebuah foto berdua, penuh mesra. Bertuliskan, Heart ro hurt, hanya sampah yang di buang tanpa perasaan.
Untuk sebening prasangka, sehangat semangat sekokoh janji, seindah senyum pengertian. Antara khilaf, cinta dan benci.
Penulis: Desy Monoarfa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar