Ilustrasi |
Yuuki kembali menggoreskan pensil andalannya di atas selembar kertas polos. Tangan mungilnya yang handal terlihat begitu indah menari di atas pangkuannya. Matanya begitu fokus mengunci suatu objek yang tak jauh dari tempatnya bersimpuh. Sesekali senyum kecil terukir dibibir tipisnya tatkala ia kembali melihat hasil coretannya yang akan mendekati sempurna.
Beberapa meter di depannya, dapat dengan mudah dijumpai sosok yang begitu cerah dengan senyum mentarinya, sedang sibuk menggiring sebuah benda bulat tanpa mengindahkan keringat yang semakin bercucuran dan membuat baju kausnya basah. Sungguh merupakan sebuah replika sempurna yang mampu menarik semua atensi yang dimiliki oleh seorang Yuuki.
Chiko Digdaya, terlihat masih sibuk menggiring dan mengoper bola yang berada dalam kuasanya. Tanpa menyadari kehadiran Yuuki Desgita−yang sudah sejak lama menaruh atensi padanya −duduk di bawah pohon yang tak jauh dari tempatnya bermain bola.
Angin berhembus pelan, menyibak lembar-lembar sketsa yang terdominasi oleh potret Chiko selama dua tahun belakangan ini dalam posisinya yang selalu membelakangi sudut pandang pelukis. Nomor punggung di belakang baju latihan yang sering dipakainya terlihat jelas pada salah satu gambar itu. Mata Yuuki menerawang, mungkin hanya ini yang dapat ia lakukan, berlindung pada bayang rindang pohon dan mencoba sebisa mungkin untuk tak mengusik pria secerah mentari itu.
Namun Yuuki tak bisa membohongi hatinya. Gadis itu ingin duduk berhadapan dengan Chiko, berhenti menggambar punggungnya, dan bisa melukis wajahnya secara utuh, tanpa terhalang apapun. Tapi hingga saat ini, ia pun tak tahu kapan penantiannya akan berujung dan kemudian tersambut dengan indah.
***
Langit telah berhias gradasi jingga, dan Yuuki akhirnya menyadari itu setelah termenung sekian menit lamanya. Tangannya dengan cekatan membereskan alat-alat menggambarnya tanpa menggubris terlebih dulu buku sketsanya yang masih dibelai angin dan berhenti pada satu halaman yang belum ia sempurnakan gambarnya.
“Hanya bisa menatap punggungnya dari jauh, apakah hatimu baik-baik saja?” gumaman itu menyentakkan Yuuki dari segala kesibukannya.
Chiko Digdaya, telah berdiri tepat di samping buku sketsanya. Akankah penantiannya segera berakhir? Namun sejatinya, cinta tak selamanya harus terbalas.
Yuuki merasakan udara di sekelilingnya mendadak hilang entah kemana ketika melihat seorang gadis berperawakan semampai berdiri tak jauh dari mereka, tengah melambai kepada pria mentarinya dan menyerukan nama Chiko dengan panggilan mesra.
***
Beberapa meter di depannya, dapat dengan mudah dijumpai sosok yang begitu cerah dengan senyum mentarinya, sedang sibuk menggiring sebuah benda bulat tanpa mengindahkan keringat yang semakin bercucuran dan membuat baju kausnya basah. Sungguh merupakan sebuah replika sempurna yang mampu menarik semua atensi yang dimiliki oleh seorang Yuuki.
Chiko Digdaya, terlihat masih sibuk menggiring dan mengoper bola yang berada dalam kuasanya. Tanpa menyadari kehadiran Yuuki Desgita−yang sudah sejak lama menaruh atensi padanya −duduk di bawah pohon yang tak jauh dari tempatnya bermain bola.
Angin berhembus pelan, menyibak lembar-lembar sketsa yang terdominasi oleh potret Chiko selama dua tahun belakangan ini dalam posisinya yang selalu membelakangi sudut pandang pelukis. Nomor punggung di belakang baju latihan yang sering dipakainya terlihat jelas pada salah satu gambar itu. Mata Yuuki menerawang, mungkin hanya ini yang dapat ia lakukan, berlindung pada bayang rindang pohon dan mencoba sebisa mungkin untuk tak mengusik pria secerah mentari itu.
Namun Yuuki tak bisa membohongi hatinya. Gadis itu ingin duduk berhadapan dengan Chiko, berhenti menggambar punggungnya, dan bisa melukis wajahnya secara utuh, tanpa terhalang apapun. Tapi hingga saat ini, ia pun tak tahu kapan penantiannya akan berujung dan kemudian tersambut dengan indah.
***
Langit telah berhias gradasi jingga, dan Yuuki akhirnya menyadari itu setelah termenung sekian menit lamanya. Tangannya dengan cekatan membereskan alat-alat menggambarnya tanpa menggubris terlebih dulu buku sketsanya yang masih dibelai angin dan berhenti pada satu halaman yang belum ia sempurnakan gambarnya.
“Hanya bisa menatap punggungnya dari jauh, apakah hatimu baik-baik saja?” gumaman itu menyentakkan Yuuki dari segala kesibukannya.
Chiko Digdaya, telah berdiri tepat di samping buku sketsanya. Akankah penantiannya segera berakhir? Namun sejatinya, cinta tak selamanya harus terbalas.
Yuuki merasakan udara di sekelilingnya mendadak hilang entah kemana ketika melihat seorang gadis berperawakan semampai berdiri tak jauh dari mereka, tengah melambai kepada pria mentarinya dan menyerukan nama Chiko dengan panggilan mesra.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar