Foto bersama usai Musyawarah Anggota UKM LIMA. Kegiatan tersebut digelar di Kolam Renang Bantimurung, Maros. Minggu (07/02) |
Washilah--Hari sudah berada di ujung petang ketika susunan panitia untuk acara Musyawarah Anggota (Musa) UKM LIMA Washilah selesai dibentuk. Aku mulai gelisah. Jika sudah seperti ini, aku sudah harus pulang. Tapi hambatan lain datang, koordinator yang dipilih untuk divisi acara menolak untuk menerima posisi itu. Tak ada jalan lain, aku harus menggantikannya karena tak satu pun anggota lain yang bersedia.
Aku menatap lama dua botol Floridina di tanganku. Keduanya belum laku juga, dan itu membuat semangatku menurun. Lampu lalu lintas kembali hijau, aku beserta rekan-rekan seperjuanganku dengan otomatis menepi ke trotoar di sisi kiri jalan. Tak butuh waktu yang lama untuk melihat lampunya kembali berwarna merah.
Sorak sorai penyemangat yang dilontarkan oleh para senior yang berkesempatan untuk bergabung bersama kami, sedikit demi sedikit mengikis letih yang ada. Bahkan, ketika aku melihat beberapa seniorku ikut turun ke tengah jalan menjajakan botol demi botol Floridina, aku terenyuh. Aku harus semangat. Karena mereka—para seniorku di Washilah—akan selalu ada untuk membantu kami.
Hari-hari berhiaskan penggalangan dana di ujung petang terus ada di agenda kami beberapa hari belakangan ini. Pundi-pundi itu harus terkumpul segera agar acara Musa dapat diselenggarakan dengan lancar. Yah, walaupun pada akhirnya pimpinan umum kami, Junaidin harus rela menutupi kekurangan dana kami dengan menggunakan uang Washilah.
5, 6, 7 Februari 2016. Pada ketiga hari itu, aku tak akan ada di rumah. Musa sudah ada di depan mata, dan kami bekerja sama untuk mengumpulkan perlengkapan-perlengkapan apapun yang akan dibutuhkan pada saat di Bantimurung—lokasi Musa—nanti.
Waktu shalat Jum’at masih akan dimulai beberapa jam lagi. Tapi aku telah sampai di Rujab dengan diantar oleh salah satu rekanku, Angga. Tak ada waktu untuk berleha-leha. Semua menu makan siang harus telah selesai sebelum mobil yang disewa tiba.
Waktu tempuh dari Samata ke Bantimurung memakan waktu kurang lebih dua jam lamanya. Pegal yang mendera punggung dan bokong seketika hilang akibat pemandangan yang hijau dan indah di sana. Udaranya sejuk, tak banyak polusi yang bertebaran di udara.
Pembukaan Musa baru dimulai pada pukul 20.30. Itupun harus kami jalankan dengan kondisi remang-remang oleh cahaya lilin karena listrik dalam keadaan padam. Aku salut dengan teman-temanku yang berada di dapur buatan, yang sedang membuat sajian makan malam dengan penerangan yang minim. Walau gelap, mereka tetap berusaha melakukan yang terbaik.
Listrik akhirnya kembali menyala pada pukul 22.00. Ucapan syukur kembali terlontarkan. Dan acara Musa di sesi sidang pleno terus berlanjut hingga pukul 03.00. Semua mendesah legah, dengan mata sayu yang bertengger di wajah mereka masing-masing.
Matahari sudah tampak utuh di langit. Aku dan teman-temanku yang lain sudah berada di dapur untuk membuat kopi guna disajikan bersama berpotong-potong roti sebagai menu sarapan. Beberapa senior sudah terlihat turun ke kolam renang yang memang tersedia di tempat kami mengadakan Musa. Tawa kami meledak ketika senior yang berenang keluar dari kolam renang dan mencebur paksa beberapa senior yang lainnya. Memang jail, tapi disitulah aku justru merasakan kekeluargaan yang kental dari mereka.
Sidang pleno akhirnya kembali dilanjutkan pada pukul 10.00 dan terus bergulir diiringi Istirahat, Salat, dan Makan (Ishoma) sampai matahari kembali terbit keesokan paginya. Semuanya berjalan lancar, walaupun dihiasi dengan situasi yang cukup menegangkan pada sesi Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ). Acara Musa akhirnya berakhir dengan terpilihnya Ulla—begitu ia akrab disapa—sebagai pimpina umum yang baru di Washilah. Selamat untuk Asrullah, semoga rahmat Allah senantiasa menyertaimu.
Masih ada waktu sebelum mobil yang akan disewa tiba pada pukul 14.30 nanti. Aku tersenyum melihat mereka semua—teman-teman anggota dan para senior—tampak menikmati waktu-waktu terakhir mereka di sini, di Bantimurung. Dan tawaku kembali meledak ketika Ical, temanku yang tengah berulang tahun disirami sebaskom kopi. Seluruh badannya sontak menjadi coklat pekat dengan bau yang tidak sedap. Dia tetap tak marah, walaupun kami menertawakannya yang berlari ke air pancuran untuk membersihkan badan.
Dia memang tak marah, tapi dia tetap menuntut balas dendam!
Sebagai gantinya, satu per satu temanku diseret paksa untuk diceburkan ke kolam renang, dibantu oleh Ikbal dan Erwin. Tak ada yang dapat lolos dari kejaran mereka, bahkan teman karibku, Mala dan Rena. Semuanya baru keluar dari kolam renang ketika matahari sudah berada di puncak langit.
Aku tersenyum. Memori ini ingin kusimpan dengan apik di otak kecilku. Tiga hari yang menyenangkan bersama mereka. Dan ingin terus kuulang bersama mereka. Mereka semuanya.
Laporan | Nadhifa Risfa Izzati (Mag)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar