sumber : |
Oleh | Sri Yusnidar*
Bencana, kecelakaan, peristiwa, korban merupakan buruan emas para pekerja media, tak salah bila kita mengatakan bencana itu anugerah para wartawan. Media massa selama ini di anggap lebih kerap memotret bencana setelah terjadi dengan pendekatan bad news is good news. Bisa kita jumpai diberbagai media, peristiwa yang mengenaskan dijadikan headline pemberitaan, jarang pula dijumpai berita si miskin yang berprestasi jadi headline.
Semakin banyak bencana, kematian, darah, perang, dan air mata dianggap kian dramatis dan menarik di beritakan. Kedepan media di tuntut lebih berperan dalam pengurangan resiko bencana. kompas, minggu 8/2/15 oleh ahmad arif.
Media di indonesia banyak menuai kritikan terutama dalam hal peliputan dan pemberitaan bencana. Bad news is good news, kalimat yang banyak di jadikan prinsip bagi kalangan wartawan, Baik dari media cetak, elektronik, maupun media online. Tidak bisa dipungkiri hal ini, media yang menjadi sumber informasi masyarakat luas kadang tidak memerhatikan efek dari informasi tersebut. Banyak berita duka atau kabar buruk yang dijadikan headline dan berita utama media, misalnya saja tsunami di aceh, lumpur lapindo, konflik di poso dan maluku, jatuhnya AirAsia QZ850, dan sekarang peristiwa duka di Makkah dijadikan sebuah berita yang sangat menarik dan menjadi keuntungan besar bagi wartawan dalam perburuannya mencari informasi.
Media massa utamanya televisi, banyak dihujat karena menayangkan jazad korban yang tengah dievakuasi, bahkan media sosial dipenuhi komentar nyinyir tentang cara beberapa televisi yang dianggap menabrak etika. Bagaiman tidak, para wartawan televisi juga dianggap terlalu mengeksploitasi perasaan korban. Menanyakan bagaimana perasaan di tinggal keluarga, bahkan bertanya tentang apa yang ingin di sampaikan pada kerabat yang berada dalam pesawat tersebut. Perlu kita berpikir tanpa ditanya pun semua sudah tahu bagaimana perasaan saat ditinggal keluarga, apalagi dengan cara yang tragis. Seharusnya yang harus di gali dahulu how and why sebuah peristiwa.
Menurut kompas edisi februari 2015 hal 9, dengan trend pemberitaan bencana hanya berorientasi mengejar sensasi, media biasa akan segera melupakan korban bencana begitu "drama-nya" dianggap tak lagi laris, media massa seolah menjelma jadi burung nazar yang mengintai kematian, menguliti habis korban, lalu mencari korban baru. Lain halnya dalam karya Budi Setiono dan Andreas Harsono "jurnalisme sastrawi" bisa di dapati tulisan Erianto mengenai koran, bisnis, dan perang. Sangat jelas konflik di Maluku memengaruhi pemberitaan dan bisnis media, seolah media kembali mengambil keuntungan pada peristiwa ini, bahkan ini di jadikan sebuah akar bisnis media, dalam konflik yang melibatkan agama kristiani dan islam, sehingga di buatlah media yang berpihak pada agama, padahal dalam media itu tidak ada agama. Karena keberpihakan media ini sehingga timbul lagi konflik dimana orang kristiani maupun islam yang merasa diskriminasi.
Sekiranya media tidak hanya dituntut dalam pemberitaan suatu bencana ataupun peristiwa lainnya, justru media sebisa mungkin menjadi raferensi bagi semua pihak agar bencana itu bisa dikurangi dengan memberitakan solusi terbaik. Bukan hanya memuat berita berapa korban, tapi mencari solusi agar semua pihak tidak merasa punya beban berat dalam memikul beban akibat informasi yang dimuat media. Faktanya media telah menjadi sumber informasi bagi semua kalangan, namun banyak media yang demi mengejar rating tertinggi dan mencari sensasi akhirnya memilih mengekspos berita hoaks, yang lagi hangat-hangatnya diperbincangkan di sosial media. Tak sedikit wartawan memilih jalan membeberkan pada khalayak, meski ia tahu informasi itu belum pasti kebenarannya, padahal kita tahu etika jurnalistik itu mewajibkan verifikasi dahulu baru mengekspos.
Merujuk pada kata salah seorang pekerja media, Kang Maman mengatakan "Kecepatan tidak boleh mengalahkan atau melawan ketepatan," Ini merupakan jimat yang harus dimiliki para jurnalis. Kecepatan dan ketepatan harus bersatu padu demi keakuratan sebuah berita. Meski ia merupakan orang media, tapi banyak bercerita mengenai dosa media yang dapat merugikan beberapa pihak. Media kritis di era masa kini harusnya menceritakan sesuatu yang lebih pantas. Juri paling adil, yang paling kuat adalah publik, kitalah yg harus memilih mana yg terbaik untuk diketahui, dilihat, dan didengar.
*Penulis adalah salah satu mahasiswa Semester V Jurusan Jurnalistik Fakultas Dakwah dan Komunikasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar