Kamis, 24 September 2015

Demonstrasi Butuh Orang Cerdas

Sumber: www.sorotgunungkidul.com
*Oleh Fadhilah Azis

Aksi protes terkait diskriminasi dan berbagai kebijakan yang dirasa menyimpang adalah hal lumrah yang dilakukan oleh pemuda bergelar mahasiswa. Mengutarakan aspirasi, menentang perilaku semena-mena para petinggi, serta menyuarakan hak asasi menjadi deretan wajib yang menjadi alasannya.

Mengambil defenisi dari Sidney Hook, bahwa demokrasi adalah menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, setiap keputusan yang diambil harus sesuai dengan kesepakatan dan disetujui  langsung oleh rakyat. Itu dari segi universal, maka mahasiswa mendefenisikannya sebagai persamaan hak dan kewajiban juga perlakuan yang sama bagi semua pihak.
                
Ada juga Undang-Undang no.9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum, satu bentuk deklarasi hak asasi manusia. Tapi agaknya, berbagai aturan dan pendapat ini malah berujung pada pola pikir yang konsevatif  dan mulai dominan dikalangan mereka.
                
Penuntutan aspirasi seharusnya memiliki landasan yang kuat, bukan sekedar aksi tanpa pemikiran yang rasional. Setiap permasalahan yang menjadi objek unjuk rasa haruslah jelas, latar belakang dan unsur sebab akibatnya. Melakukan aksi karena ikut-ikutan, ini yang lebih parah. Bekoar-koar memprotes ini itu demi pujian berbau aktivis. Jika memang berpendidikan maka sikapi saja sebagai orang yang berilmu tinggi.
                
Contoh saja kemanikan BBM, kebijakan yang sekali dengar sudah menjadi provokasi bagi mereka untuk turun kejalan dan bertindak anakris. Menghina presiden dengan julukan-julukan tak terpuji, bukankah seseorang yang berpendidikan seharusnya tau bagaimana cara menghormati pemimpin mereka?
               
Kebijakan pemerintah yang memilih mengalokasikan subsidi ke sektor produktif, pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum. Dibanding subsidi BBM yang lebih banyak dinikmati masyarakat atas tanpa peranan penting bagi kestabilan Ekonomi masyarakat menengah kebawah.
                
Membentuk barisan dan menyoraki hak masyarakat kecil atas kenaikan harga sembako sebagai dampak yang mengikutinya. Tapi saat demonstrasi, malah berujung rusuh dan memicu kerusakan bangunan dan fasilitas, kemacetan sepanjang jalan karena penutupan secara paksa, serta bentrok dengan pihak kepolisian atau bahkan warga. Bukankah dengan begitu masyarakat kecil juga ikut merasakan kerugiannya?. Kalau begitu, siapa yang menyoraki dan siapa yang seharusnya disoraki?
                
Ini hanya satu contoh sederhana tentang betapa perlunya pemahaman yang matang dalam setiap aksi demonstrasi. Bukan sekedar ajang penuntutan hak tapi seberapa jauh perubahan positif yang mereka timbulkan. Menghormati bukan berarti dijatuhkan, juga bukan berarti diintimidasi. Menghormati hanyalah bentuk kedewasaan moral yang wajib dimiliki setiap penuntut ilmu.
                
Kata ‘cerdas’ disini juga tidak sebaku kosa katanya, karena orang cerdas adalah mereka yang bisa paham sejauh mana mereka harus berbicara, menyelaraskan pikiran juga perilaku agar bisa berjalan relevan. Mahasiswa adalah tingkat pendidikan tertinggi diantara yang lain, senior yang terlalu sering mengagungkan kata senioritas. Untuk itu, mahasiswa seharusnya menjadi pembawa perubahan dengan ribuan kreatifitas. Bukan perusak yang sibuk menuntut hak tanpa mau melirik kewajibannya


*Penulis adalah mahasiswa Jurusan Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar