Sumber: gambardankata.com |
Untuk kesekian kalinya surat-surat ini kutulis di atas kertas kosong. Ya, kertas itu kosong setelah beberapa tahun silam kucoret-coret dengan tinta kepahitan. Yang kusebut kenangan terindah, namun kini semua itu menjelma jadi tusukan duri yang hampir rapuh. Hingga kubiarkan saja rapuh, agar ia segera hilang dari ingatanku. Ku genggam jiwa yang kusebut Cinta, agar ia tetap menjadi penghuni dihatiku yang renta ini.
Ku genggam senyuman yang kumiliki agar memperindah lembah hati yang sunyi ini menjadi seberkas bianglala. Sangkaku salah, genggaman semakin erat. Cinta itu semakin pudar dan perlahan hilang. Senyuman itu semakin hambar saat aku menyeruputnya bak kopi yang mendingin sedari dulu.
Aku lepas. Aku hilang kendali. Aku jatuh. Sakit. Aku berteriak seperti burung cangak yang meneriakkan suaranya dimalam yang pekat. Aku menangis seperti anak kecil yang kehilangan mainan, atau jajanannya.
Sesekali ku panggil ibu. Sesekali ku gapai ibu. Sesekali ku bertelepati dengan ibu. Namun ibu tetaplah jauh dari hatiku. Tetaplah di sudut kota kelahiranku. Aku disudut kota yang ku sebut lembah sunyi. Lembah sunyi yang menghilangkan cinta dari hatiku.
Lembah sunyi yang menyudutkanku terus menerus semakin dalam. Tanpa penerangan, tanpa lentera. Namun aku masih memegang sebuah tongkat yang diturunkan dari syurga. Tongkat itu adalah ibu. Di dalam lembah sunyi, aku terus berjalan menyusuri lorong waktu. Yang ku tahu waktu itu seperti kereta yang hanya berhenti di stasiun saja.
Setelah pergi, maka ia tidak akan peduli dengan penumpangnya yang ketinggalan. Aku tidak mau ketinggalan waktu itu. Aku bangkit dan berjalan diatas kerikil-kerikil tajam yang terinjak kakiku. Kemana? Untuk apa? dan pada siapa aku akan melabuhkan diriku ini. Allah. Allah yang akan menampungku, bebanku, tangisku, juga semua yang ku angkut bersama jiwa yang tak sepadan dengan-Nya.
Terus ku melaju. Akhirnya kutemukan setitik cahaya pengganti hilangnya Cintaku. Persahabatan yang kurasakan sungguh ini baru pertama kali. Kuraba ia sangat membingungkanku. Bagaimana tidak, aku yang ingin berbagi kasih bersamanya, namun mereka menghadirkan sekelumit cinta.
Antara segitiga yang ku tahu tidak akan menemukan kesejajaran. Persahabatan yang menyita pikirku tidak sejalan dengan nuraniku. Aku telah dihadapkan dengan persimpangan. Arah mana yang akan aku tapaki? Atau aku akan berputar arah yang telah jauh aku tinggalkan?
“TIDAK!!” kataku dalam hati. Aku tidak akan berputar arah lagi. Aku akan terus berjalan mengikuti lorong waktu itu. Aku yakin lorong waktu itu belumlah sampai pada tujuanku. Benar. Itu belum sampai.
Ah, aku tidak peduli lagi dengan persahabatan yang menyita waktuku itu. Yang menghadirkan persimpangan di hadapku. Kuteruskan saja jalan ku, ku lanjutkan saja menjadi masinis yang mengemudikan kereta ku. Lama, ya terlalu lama aku mengemudikannya. Terkadang aku lelah, terkadang aku jenuh, terkadang aku sepi.
Tapi, tunggu. Bukankah di depan itu ada setitik cahaya yang bisa kutangkap dengan mataku. Senyumku renyah saat kutemui itu memang benar-benar cahaya. Cahaya yang awalnya memberi kehangatan bagiku. Cahaya yang awalnya memberi penerangan bagi jalanku. Cahaya yang kurasakan bahagia bila ia mengecup hatiku. Cahaya yang mencuatkan cinta untukku. Bahagia bukan? Ya, aku bahagia atas hadirnya cahaya itu. Cahaya yang ku sebut cinta. Cinta? lagi-lagi cinta. Tidak, ini bukan cinta. Ini adalah sepercik dari kilatan cahaya sejati yang aku rasakan sesaat saja.
Aku terduduk lesu menyaksikan cahaya itu menerangi hati yang lain. Hingga mata ini menghadiahkan hujan yang tiada reda untuk ku usap sekilas saja. Ranting yang mulai mencabangkan akar-akar cinta, kini merapuh lagi. Bunga yang ingin terkecup oleh wangi cahaya cinta, akhirnya layu juga. Hingga ku terbangun dari mimpiku, dan menyusuri lorong waktu kembali. Sekelumit cahaya-cahaya cinta itu hanyalah hilirnya saja.
Biar kubawa sepenuh hatiku yang hancur ini berjalan menemui hulu sang pencipta Cinta. Karena aku tahu cinta suci itu akan bertumpu pada Allah.
Ku genggam senyuman yang kumiliki agar memperindah lembah hati yang sunyi ini menjadi seberkas bianglala. Sangkaku salah, genggaman semakin erat. Cinta itu semakin pudar dan perlahan hilang. Senyuman itu semakin hambar saat aku menyeruputnya bak kopi yang mendingin sedari dulu.
Aku lepas. Aku hilang kendali. Aku jatuh. Sakit. Aku berteriak seperti burung cangak yang meneriakkan suaranya dimalam yang pekat. Aku menangis seperti anak kecil yang kehilangan mainan, atau jajanannya.
Sesekali ku panggil ibu. Sesekali ku gapai ibu. Sesekali ku bertelepati dengan ibu. Namun ibu tetaplah jauh dari hatiku. Tetaplah di sudut kota kelahiranku. Aku disudut kota yang ku sebut lembah sunyi. Lembah sunyi yang menghilangkan cinta dari hatiku.
Lembah sunyi yang menyudutkanku terus menerus semakin dalam. Tanpa penerangan, tanpa lentera. Namun aku masih memegang sebuah tongkat yang diturunkan dari syurga. Tongkat itu adalah ibu. Di dalam lembah sunyi, aku terus berjalan menyusuri lorong waktu. Yang ku tahu waktu itu seperti kereta yang hanya berhenti di stasiun saja.
Setelah pergi, maka ia tidak akan peduli dengan penumpangnya yang ketinggalan. Aku tidak mau ketinggalan waktu itu. Aku bangkit dan berjalan diatas kerikil-kerikil tajam yang terinjak kakiku. Kemana? Untuk apa? dan pada siapa aku akan melabuhkan diriku ini. Allah. Allah yang akan menampungku, bebanku, tangisku, juga semua yang ku angkut bersama jiwa yang tak sepadan dengan-Nya.
Terus ku melaju. Akhirnya kutemukan setitik cahaya pengganti hilangnya Cintaku. Persahabatan yang kurasakan sungguh ini baru pertama kali. Kuraba ia sangat membingungkanku. Bagaimana tidak, aku yang ingin berbagi kasih bersamanya, namun mereka menghadirkan sekelumit cinta.
Antara segitiga yang ku tahu tidak akan menemukan kesejajaran. Persahabatan yang menyita pikirku tidak sejalan dengan nuraniku. Aku telah dihadapkan dengan persimpangan. Arah mana yang akan aku tapaki? Atau aku akan berputar arah yang telah jauh aku tinggalkan?
“TIDAK!!” kataku dalam hati. Aku tidak akan berputar arah lagi. Aku akan terus berjalan mengikuti lorong waktu itu. Aku yakin lorong waktu itu belumlah sampai pada tujuanku. Benar. Itu belum sampai.
Ah, aku tidak peduli lagi dengan persahabatan yang menyita waktuku itu. Yang menghadirkan persimpangan di hadapku. Kuteruskan saja jalan ku, ku lanjutkan saja menjadi masinis yang mengemudikan kereta ku. Lama, ya terlalu lama aku mengemudikannya. Terkadang aku lelah, terkadang aku jenuh, terkadang aku sepi.
Tapi, tunggu. Bukankah di depan itu ada setitik cahaya yang bisa kutangkap dengan mataku. Senyumku renyah saat kutemui itu memang benar-benar cahaya. Cahaya yang awalnya memberi kehangatan bagiku. Cahaya yang awalnya memberi penerangan bagi jalanku. Cahaya yang kurasakan bahagia bila ia mengecup hatiku. Cahaya yang mencuatkan cinta untukku. Bahagia bukan? Ya, aku bahagia atas hadirnya cahaya itu. Cahaya yang ku sebut cinta. Cinta? lagi-lagi cinta. Tidak, ini bukan cinta. Ini adalah sepercik dari kilatan cahaya sejati yang aku rasakan sesaat saja.
Aku terduduk lesu menyaksikan cahaya itu menerangi hati yang lain. Hingga mata ini menghadiahkan hujan yang tiada reda untuk ku usap sekilas saja. Ranting yang mulai mencabangkan akar-akar cinta, kini merapuh lagi. Bunga yang ingin terkecup oleh wangi cahaya cinta, akhirnya layu juga. Hingga ku terbangun dari mimpiku, dan menyusuri lorong waktu kembali. Sekelumit cahaya-cahaya cinta itu hanyalah hilirnya saja.
Biar kubawa sepenuh hatiku yang hancur ini berjalan menemui hulu sang pencipta Cinta. Karena aku tahu cinta suci itu akan bertumpu pada Allah.
Penulis: Wiryanthy
Editor: Afrilian C Putri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar