Ilustrasi | Int |
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diskusi merupakan pertemuan ilmiah untuk bertukar pikiran mengenai suatu masalah. Mahasiswa sebagai Agent of Changes dan Agent of Control seharusnya selalu melakukan diskusi. Bukan hanya didalam kampus, tapi luar kampus pun seharusnya seperti itu. Sayangnya, hanya sebagian saja mahasiswa yang tergugah hatinya untuk menciptakan ruang-ruang diskusi.
Di kampus UIN Alauddin sendiri misalnya, ketika kita berkeliling, baik siang ataupun sore hari sangat jarang ditemukan forum-forum diskusi. Kalaupun ada, biasanya diskusi tersebut merupakan kegiatan rutin yang dilakukan oleh organisasi-organisasi tertentu. Seharusnya, diskusi bukan hanya milik mereka yang berorganisasi tapi juga milik semua mahasiswa.
Tak dapat dipungkiri, kemajuan tekhnologi dan informasi yang memudahkan seseorang untuk memperoleh pengetahuan melalui gadget merupakan salah satu penyebab diskusi dikalangan mahasiswa semakin merosot. Padahal jika kita pandai memanfaatkan fasilitas yang ada, justru itu akan menjadi alat bantu dalam mengakses informasi terkait isu hangat baik dikancah nasional maupun internasional yang kemudian akan menjadi bahan diskusi.
Kemudian, faktor lain yang menyebabkan mahasiswa apatis untuk berdiskusi adalah gaya hidup yang sengaja mereka desain untuk mengikuti perkembangan zaman. Misalnya, ketika pulang kuliah sengaja untuk pergi berkeliling ke pusat perbelanjaan agar dapat terlihat fashionable, nonkrong di kafe agar dikatakan gaul, ataupun ke tempat karaoke dimana kebiasaan-kebiasaan seperti itu menjadikan mahasiswa krisis akan pemikiran kritis.
Semakin merosotnya ruang-ruang diskusi dikalangan mahasiswa menjadi penanda buruk bagi civitas suatu kampus. Mengingat, kampus merupakan arena untuk melahirkan tokoh-tokoh intelektual yang kedepannya akan menjadi generasi penerus mengantikan para pemerintah yang sekarang duduk dikursi kehormatan. Lalu apa yang akan terjadi dengan negara ini ketika yang menjadi pemimpin kelak adalah generasi yang apatis? mungkin saja kedepannya Indonesia akan dijual karena tidak mampu bersaing dengan negara lain.
Salah seorang mahasiswa Ilmu Hukum Suryadi mencoba untuk membangun tradisi diskusi dengan mengajak teman sekelasnya untuk membentuk kelompok diskusi yang nantinya akan membahas isu terhangat yang diperbincangkan dikalangan masyarakat. Baru-baru ini mereka membahas perihal Lesbian Gay Biseksual Transgender (LGBT), kemudian dibagilah dua kubu yakni pro dan kontra. Menurut hemat penulis, seandainya semua kelas bisa melakukan hal yang seperti itu, maka tentu akan lahirlah generasi-generasi berintelektual. Karena sejak awal telah dirancang untuk mampu memikirkan solusi terkait dengan masalah sosial.
Ada banyak manfaat dari kegiatan diskusi. Diantaranya yaitu diskusi akan mendorong kita untuk rajin membaca, sebab dalam diskusi seseorang dituntut untuk berbicara dengan dasar ilmu, tidak boleh didasari dengan modal 'sotta'. Semakin sering seseorang berdiskusi, akan semakin besar pula minat bacanya. Kemudian, setelah berdiskusi maka hasil dari pemikiran-pemikiran kita dapat digabungkan dalam bentuk tulisan sebagai bahan bacaan kembali.
Disini kita dapat menarik 2 hal, yang pertama yaitu diskusi adalah magnet minat baca, dan yang kedua diskusi adalah magnet minat menulis. Adapun manfaat yang lain yakni melatih kita untuk mampu berpikir ilmiah sehingga pikiran-pikiran itu mampu kita sampaikan dengan lisan. Dalam hal ini kita dilatih untuk mampu berbicara. Jadi, sebagai generasi muda tidak ada kata terlambat. Bangkitkan kembali tradisi diskusi di kampus peradaban kita.
Penulis: Nur Isna
Editor: Sri Wahyu Diastuti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar